Senin, 20 Oktober 2014

Manasik Haji dan Beberapa Permasalahannya

QS.3. Ali 'Imran:

فِيهِ ءَايَـٰتٌ بَيِّـنَـٰتٌ مَّقَامُ إِبْرَٰهِيمَ وَمَن دَخَلَهُ كَانَ ءَامِناً وَلِلَّهِ عَلَى ٱلنَّاسِ حِجُّ ٱلْبَيْتِ مَنِ ٱسْتَطَـٰعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱلله غَنِىٌّ عَنِ ٱلْعَـٰلَمِينَ

97. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[ tempat Nabi Ibrahim a.s. berdiri membangun Ka'bah]; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah[orang yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta sehat jasmani dan perjalananpun aman]. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam. 

Sesungguhnya mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang yang (mampu):
1. Sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah
2. Sanggup menyediakan perbekalan, baik bagi dirinya sendiri ataupun bagi keluarga yang ditinggalkannya.
3. Sanggup menyediakan alat-alat pengangkutan.
4. Sehat jasmani
5. Perjalanan aman.

Kewajiban berhaji (dan umrah, umrah yang dilakukan satu paket dengan haji, dengan beberapa cara, misal: haji tamattu', mendahulukan umrah baru kemudian berhaji) hanyalah sekali saja seumur hidup, dan selebihnya adalah sunnah.

Dan barangsiapa mengingkari kewajiban haji bagi yg mampu, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dan tidak memerlukan sesuatupun dari semesta alam ini ...


Allah memerintahkan kita supaya berhaji itu bukan berarti Allah itu miskin dan ingin menjadikan Makkah kaya ...
Namun itu karena Allah hendak menguji hambaNya yg memiliki kelebihan harta tersebut. Apakah mereka sadar, kalau harta yg mereka miliki itu sebenarnya pemberian, karunia dan milik Allah ...

Andaikan Allah mencabut pemberian dan karuniaNya itu, dapatkah mereka menahan kelebihan harta itu? Dapatkah mereka memilih kaya kembali, ketika kemiskinan telah menimpa mereka?

Marilah berhaji bagi yg mampu, walaupun waktu tunggu (waiting list) sudah mencapai puluhan tahun. Setidaknya sudah berniat...

Dan ibadah Umrah, sekali-kali tidak akan dapat menggugurkan kewajiban berhaji, walaupun umrah sudah dikerjakan hingga puluhan kali. 
Jika ada yang ingin Umrah dahulu juga tidak mengapa, karena Rasulullah SAW juga  melakukan umrah dahulu, bahkan lebih dari sekali. Wa Allahu 'alam ...

Namun, bagi yg belum mampu, tidak usah dipaksakan untuk mendaftar haji dng berhutang kemana-mana. Karena Allah tidak akan membebani hambaNya melebihi kemampuannya. Kewajiban berhaji itu hanya bagi hamba2Nya yg mampu saja.

Muhammad bin Ismail menceritakan kepada kami, Ali bin Abdul Hamid Al Kufi menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Al Mughirah memberitahukan kepada kami dari Tsabh, dari Anas, ia berkata, "Kami sedang berangan-angan agar ada seorang Badui yang cerdas lalu mulai bertanya kepada Nabi SAW sedangkan kami berada bersama beliau SAW. Pada saat kami dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba seorang Badui datang lantas menundukkan dirinya di depan Nabi SAW, kemudian berkata, 'Wahai Muhammad, sesungguhnya utusanmu telah mendatangi kami, kemudian ia memberitahu kami bahwa engkau mengaku utusan Allah?. Nabi SAW menjawab, 'Ya', la berkata lagi, 'Demi Dzat yang mengangkat langit, membentangkan bumi, dan menegakkan gunung-gunung, apa benar Allah telah mengutus engkau?' Nabi SAW kemudian menjawab, 'Ya'. Ia berkata, 'Sesungguhnya utusanmu memberi tahu kami bahwa engkau mendakwahkan bahwa kami wajib mengerjakan shalat lima kali satu hari satu malam?'. Nabi SAW bersabda, 'Ya'. Ia bertanya, 'Demi Dzat yang mengutus engkau, benarkah Allah yang memerintahkan hal itu kepada engkau?' Nabi SAW bersabda, 'Ya'. Ia berkata lagi, 'Sesungguhnya utusanmu memberitahu kami bahwa kami wajib mengerjakan puasa satu bulan dalam satu tahun?' Nabi SAW bersabda, 'Benar'. Ia berkata, 'Demi Dzat yang mengutus engkau, benarkah Allah yang memerintahkan hal itu kepada engkau?' Nabi SAW menimpali, 'Ya'. Ia berkata, 'Sesungguhnya utusanmu memberitahu kami bahwa kami wajib mengeluarkan zakat dalam harta-harta kami?' Nabi SAW bersabda, 'Benar'. Ia berkata, 'Demi Dzat yang mengutus engkau, benarkah Allah telah memerintahkan hal itu kepada engkau?' Nabi SAW bersabda, 'Ya'. Ia berkata, 'Sesungguhnya utusanmu memberitahu kami bahwa kami wajib mengerjakan haji ke Baitullah bagi yang mampu menempuh perjalanan itu?' Nabi SAW bersabda, 'Ya'. Ia berkata, 'Demi Dzat yang mengutus engkau, benarkah Allah yang memerintahkan hal itu kepada engkau?' Nabi SAW bersabda, 'Ya'.  Kemudian ia berkata, "Demi Dzat yang mengutus engkau dengan kebenaran, aku tidak akan meninggalkan satupun dari semua itu dan aku  tidak akan melebihinya'. Lalu ia segera pergi. Nabi SAW kemudian bersabda, 'Jika orang Badui itu benar, maka ia akan masuk surga'."
Shahih: Takhrij Iman Ibnu Syaibah (4/5) dan Muttafaq 'alaih

Bab: Keutamaan haji yang mabrur
No. Hadist: 1422 dari KITAB SHAHIH BUKHARI

حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ جِهَادٌ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ حَجٌّ مَبْرُورٌ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari Az Zuhriy dari Sa'id bin Al Musayab dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Ditanyakan kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam: "'Amal apakah yang paling utama?". Beliau menjawab: "Iman kepada Allah dan rasulNya". Kemudian ditanya lagi: "Kemudian apa?" Beliau menjawab: "Al Jihad fii sabiilillah". Kemudian ditanya lagi: "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab: "Hajji mabrur".

No. Hadist: 1423 dari KITAB SHAHIH BUKHARI

حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ الْمُبَارَكِ حَدَّثَنَا خَالِدٌ أَخْبَرَنَا حَبِيبُ بْنُ أَبِي عَمْرَةَ عَنْ عَائِشَةَ بِنْتِ طَلْحَةَ عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdurrahman bin Al Mubarak telah menceritakan kepada kami Khalid telah mengabarkan kepada kami Habib bin Abu 'Amrah dari Aisyah binti Tholhah dari 'Aisyah Ummul Mukminin radliallahu 'anha ia berkata: "Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah sebaik-baiknya amal, maka apakah kami tidak boleh berjihad?". Beliau bersabda: "Tidak, namun sebaik-baik jihad bagi kalian (para wanita) adalah haji mabrur".

No. Hadist: 1424 dari KITAB SHAHIH BUKHARI

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ حَدَّثَنَا سَيَّارٌ أَبُو الْحَكَمِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ

Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu'bah telah menceritakan kepada kami Sayyar Abu Al Hakam berkata; aku mendengar Abu Hazim berkata; aku mendengar Abu Hurairah radliallahu 'anhu berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa melaksanakan hajji lalu dia tidak berkata, -kata kotor dn tidak berbuat fasik maka dia kembali seperti hari saat dilahirkan oleh ibunya".

'Barangsiapa haji dan ia tidak mengucapkan kata-kata yang keji dan tidak melakukan perbuatan fasik, maka dosanya yang telah lampau akan diampuni'." Shahih: Hajjatun Nabi SAW (hal: 5) dan Muttafaq 'alaih

Abu Kuraib menceritakan kepada kami, Abdah bin Sulaiman menceritakan kepada kami dari Muhammad bin Amr: Abu Salamah menceritakan kepada kami, dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah SAW ditanya, 'Apakah amalan yang paling utama atau pekerjaan apakah yang paling baik?' Rasululullah menjawab, 'Iman kepada Allah dan rasulNya?' Beliau ditanya (lagi), 'Kemudian apa?' Rasulullah menjawab, 'Jihad adalah puncak amalan.' Ditanyakan (lagi), 'Kemudian apa?' Rasulullah menjawab, 'Haji yang mabrur'."
Hasan Shahih: Muttafaq 'alaih.

Bab: Barangsiapa Setelah Matahari Tergelincir hingga Matahari Terbenam atau (batas akhir) Sebelum Terbit Fajar berada di Arafah Maka Ia Telah Mendapatkan Haji
Muhammad bin Basysyar menceritakan kepada kami, Yahya bin Sa'id dan Abdurrahman bin Mahdi memberitahukan kepada kami, keduanya berkata, "Sufyan memberitahukan kepada kami dari Bukair bin Atha', dari Abdurrahman bin Ya'mar:
Orang-orang dari penduduk Najd mendatangi Rasulullah SAW ketika beliau berada di Arafah. Kemudian mereka bertanya kepada beliau, dan beliau lantas menyuruh seorang penyeru untuk menyerukan: "Haji itu adalah Arafah, Barangsiapa datang pada malam Arafah sebelum terbit Fajar maka telah mendapatkan haji. Hari-hari Mina adalah tiga hari. Barangsiapa bersegera (meninggalkannya) dalam dua hari, maka ia tidak mendapatkan dosa. Barangsiapa mengakhirkan (sampai tiga hari), maka dia tidak mendapatkan dosa "
Muhammad berkata, "Yahya memberi tambahan: Dan beliau menyusulkan seseorang kemudian ia berseru dengan kalimat tersebut"
Shahih: Ibnu Majah (3015)

Ibnu Abu Umar menceritakan kepada kami, Sufyan bin Uyainah menceritakan kepada kami, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Bukair bin
Atha'. Dari Abdurrahman bin Ya'mar. Ia berkata, Rasulullah SAW bersabda, "Haji itu wukuf di Arafah, haji itu wukuf di Arafah, haji itu wukuf di Arafah, tinggal di Mina selama tiga hari. Allah berfirman, "Barangsiapa yang ingin cepat pulang (dari Mina) sesudah dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan, barangsiapa yang ingin menangguhkan dari kepulangannya dari dua hari itu maka tidak ada dosa pula baginya.' Siapa saja yang sempat mendapatkan sebelum fajar terbit maka dia telah mendapatkan haji."
Shahih: Telah disebutkan pada hadits diatas

---> Silahkan membaca juga: Haji Minta Dunia-Akhirat?
---> Haji Pintar (Pendaftaran dan Pembatalan) ada di Sini



MANASIK HAJI:

Melakukan Ihram dari miqat
Miqat artinya batasan. Miqat ada dua macam, miqat zamani (miqat waktu) dan miqat makani (miqat tempat)

Miqot zamani yaitu batasan waktu yang orang harus memulai amalan haji dan umrah.  Bagi Haji adalah pada bulan-bulan haji, yaitu Syawal, Dzul Qa’dah dan Dzul-Hijjah. Adapun miqot zamani Umroh adalah sepanjang tahun, tidak ada batas waktu tertentu.

Miqat makani yaitu batasan tempat yang orang harus memulai amalan Haji atau Umroh.

– Bagi orang Madinah atau orang yang datang dari arah Madinah adalah Dzul Hulaifah (suatu tempat kurang lebih 12 km arah selatan Madinah, atau kira-kira 486 km arah utara Mekah, sekarang orang menyebutnya Bir Ali).

– Bagi orang Syam atau yang datang dari arah Syam adalah Juhfah (suatu desa dekat Robigh kira-kira 204 km arah barat Mekah)

– Bagi orang Najd atau yang datang dari arah Najd adalah Qornul Manazil (suatu tempat yang orang sekarang menyebutnya As-Sail al-Kabir kira-kira 94 km arah timur Mekah.

– Bagi orang Yaman atau yang datang dari arah Yaman adalah Yalamlam (suatu tempat kira-kira 89 km arah selatan Mekah).

– Bagi orang Iraq atau yang datang dari arah Iraq adalah Dzatu Irq (satu tempat kurang lebih 94 km arah timur laut Mekah).

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنهما : أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَقَّتَ لأَهْلِ الْمَدِينَةِ : ذَا الْحُلَيْفَةِ . وَلأَهْلِ الشَّامِ: الْجُحْفَةَ . وَلأَهْلِ نَجْدٍ : قَرْنَ الْمَنَازِلِ . وَلأَهْلِ الْيَمَنِ : يَلَمْلَمَ . هُنَّ لَهُنّ وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِهِنَّ , مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ أَوْ الْعُمْرَةَ (رواه البخاري)

Dari Ibnu Abbas, beliau berkata: Rasulullah saw. telah menetapkan miqot bagi penduduk Madinah Dzul Hulaifah, bagi penduduk Syam Juhfah, bagi penduduk Najd Qornul-Manazil dan bagi penduduk Yaman Yalamlam. Miqot-Miqot itu bagi (penduduk) negeri-negeri itu dan bagi orang yang datang melalaui negeri-negeri itu yang bukan dari penduduknya yang hendak melakukan haji dan umrah. (HR.Bukhari dan Muslim)

– Sedangkan bagi penduduk Mekah atau orang luar yang berada di Mekah, miqat hajinya adalah tempat tinggalnya di Mekkah. Jadi baginya untuk memulai umroh ia harus keluar ke Tan’im  atau Ji’ronah.

Hadits2 Mengenai Ber-Ihram



Tidak dibolehkan bagi yang sedang melakukan ihram untuk menggunakan sesuatu yang berjahit dan dipakaikan di salah satu anggota badannya, seperti  celana, baju, baju kurung dan sejenisnya. Tetapi dia tidak dilarang memakai sesuatu yang berjahit dan tidak membentuk salah satu anggota tubuh. Hal ini berdasarkan hadist Ibnu Umar :

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا يَلْبَسُ الْمُحْرِمُ مِنْ الثِّيَابِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلْبَسُوا الْقُمُصَ وَلَا الْعَمَائِمَ وَلَا السَّرَاوِيلَاتِ وَلَا الْبَرَانِسَ وَلَا الْخِفَافَ

“Dari Ibnu Umar radliallahu 'anhuma, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam perihal pakaian Ihram. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pun menjawab: "Tidak boleh pakai kemeja, serban, celana, peci dan sepatu. ( HR Bukhari dan Muslim )

Jika dia menggunakan sesuatu yang berjahit, maka wajib  baginya membayar fidyah, kecuali kalau dia memakainya dengan cara tidak dipakainya sebagaimana biasanya, seperti melilitkan pakaian panjang atau baju di tubuhnya, karena seperti ini tidak dikatagorikan memakai baju.

Ada beberapa pengecualian dari larangan di atas, yaitu orang yang tidak mendapatkan sarung ( kain ihram bagian bawah , maka tidak mengapa dia memakai celana. Dan barang siapa yang tidak mendapatkan sandal, maka tidak mengapa dia memakai khuf, yaitu sandal yang menutup mata kaki. Hal ini berdasarkan hadist Ibnu Abbas :

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ لَمْ يَجِدْ إِزَارًا فَلْيَلْبَسْ سَرَاوِيلَ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ نَعْلَيْنِ فَلْيَلْبَسْ خُفَّيْنِعَنْ

“Dari Ibnu Abbas dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Barangsiapa tidak mendapat sarung (ketika berihram), hendaknya ia mengenakan celana panjang, dan siapa yang tidak mendapatkan sandal, hendaknya ia mengenakan sepatu." ( Bukhari dan Muslim )

Bagi siapa yang mendapatkan udzur, maka tidak ada kewajiban fidyah baginya. Hukum ini berbeda dengan hukum bagi orang yang mencukur rambut karena udzur. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa mencukur merupakan sesuatu pekerjaan  yang menghilangkan rambut, adapun dalam masalah ini, hanya memakai sesuatu saja. Oleh karenanya bagi yang mencukur rambut karena udzur, wajib membayar fidyah, sedang yang memakai pakaian yang berjahit karena udzur, tidaklah wajib baginya  membayar fidyah.

Jika dia memakai pakain ihram: bagian bawah dan atas yang tidak berkancing  atau tidak terdapat penitinya, sebagaimana yang dikatakan Ibnu Umar : “ Jangan anda menggulungkan sesuatu sedang anda dalam keadaan ihram “, maka tidak masalah jahitan yang ada di dalamnya  sebagaimana telah dijelaskan akan arti pakaian yang berjahit, begitu juga dia boleh memakai ikat pinggang.
Sehingga memakai ikat pinggang dan yang sepertinya tidak dilarang bagi orang yang sedang ihram. Demikian pula sapu tangan untuk mengikat kainnya atau untuk menjaga uang dan lain-lain.

Larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Umar ketika beliau ditanya apa yang dipakai seorang muhrim? Beliau menjawab:

لاَ يَلْبَسُ المُحْرِمُ اْلقَمِيْصَ وَلاَ الْعِمَامَةَ وَلاَ اْلبُرْنُسَ وَلاَ الْسَّرَاوِيْلَ وَلاَ ثَوْبًا مَسَّهُ وَرْسٌ وَلاَ زَعْفَرَانُ وَلاَ الْخُفَّيْنِ إِلاَّ أَنْ لاَ يَجِدَ نَعْلَيْنِ فَلْيَقْطَعْهُمَا حَتَّى يَكُوْنَ أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ

“Janganlah seorang muhrim memakai gamis, imamah, burnus, celana, pakaian yang terkena wars dan za’faron dan tidak memakai kaos kaki kulit kecuali jika tidak mendapatkan sandal, maka hendaklah dia memotongnya sampai menjadi dibawah dua mata kakinya” [HR Bukhari dan Muslim]

Ibnu Abdil Barr berkata: “Semua yang ada dalam hadits ini telah disepakati oleh ahli ilmu untuk tidak dipakai seorang muhrim selama ihromnya, dan merekapun bersepakat bahwa yang dituju dengan sabda beliau dalam pakaian tersebut adalah laki-laki, bukan untuk wanita sehingga dibolehkan bagi wanita memakai gamis, celana, kerudung dan khuf (kaos kaki kulit).”

Menurut contoh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hari nahar adalah melontar jumrah ‘aqabah sebanyak tujuh kali dengan membaca takbir setiap melontar, kemudian menyembelih kurban jika dia wajib menyembelih (bagi yang haji tamattu’ atau qiran,-pent), kemudian mencukur habis atau memotong rambut, tapi mencukur habis lebih utama, kemudian thawaf ifadhah dan sa’i. Ini adalah urutan yang utama seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melontar jumrah ‘aqabah kemudian menyembelih kurban, kemudian mencukur rambut habis, dan kemudian pergi ke Mekkah untuk thawaf ifadhah. Tapi jika seseorang mendahulukan sebagian amal-amal haji tersebut atas sebagian yang lain, maka tiada dosa baginya. Seperti bila seseorang menyembelih kurban sebelum melontar jumrah, atau thawaf ifadhah sebelum melontar, atau mencukur rambut sebelum melontar jumrah, atau mencukur rambut sebelum menyembelih kurban, maka tiada dosa baginya. Sebab ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang orang yang mendahulukan atau mengakhirkan amal-amal haji tersebut, maka beliau berkata : “Lakukanlah dan tiada dosa bagi kamu”.

Adapun yang dimaksud tahallul pertama adalah bila orang yang haji telah melakukan dua dari tiga kewajiban haji, seperti : melontar jumrah dan mencukur/memotong rambut, atau melontar jumrah dan thawaf, atau thawaf dan mencukur/memotong rambut.
Sedangkan tahallul kedua adalah bila orang yang haji telah melakukan tiga kewajiban dalam haji, yaitu melontar jumrah, thawaf dan mencukur/memotong rambut. Dan jika seseorang telah melakukan dua hal saja, maka dia boleh memakai baju berjahit, memakai parfum, dan halal baginya semua hal yang haram atas orang yang ihram kecuali senggama. Tapi jika melakukan yang ketiga dan telah melaksanakan apa yang tersisa atas dia maka halal baginya melakukan senggama.
Sebagian ulama berpendapat bahwa jika orang yang haji telah melontar jumrah pada hari ‘Id, maka dia boleh tahallul pertama. Ini adalah pendapat yang bagus. Jika seseorang melakukan hal ini, maka insya Allah tiada dosa atas dia. Tapi yang lebih utama dan lebih hati-hati adalah agar seseorang tidak tergesa-gesa tahallul pertama hingga dia melakukan amal haji yang kedua, yaitu mencukur/ memotong rambut atau ditambahkan dengan thawaf berdasarkan hadits dari Aisyah, meskipun dalam sanadnya terdapat komentar ulama, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Artinya : Jika kamu telah melontar jumrah dan telah bercukur maka telah halal bagimu parfum dan segala sesuatu kecuali senggama” [Hadits Riwayat Abu Dawud]

Juga karena berpedoman hadits-hadits lain yang berkaitan tentang masalah ini. Dan karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika telah melontar jumrah pada hari ‘Id, menyembelih kurban dan bercukur, maka Aisyah memberikan parfum kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lahir hadits menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memakai parfum melainkan setelah beliau melontar jumrah, menyembelih kurban dan bercukur. Maka yang utama dan lebih hati-hati adalah agar seseorang tidak tahallul awal kecuali setelah melontar dan mencukur/ memotong rambut, dan jika dapat melakukan hendaknya memotong kurban setelah melontar jumrah dan sebelum bercukur. Sebab demikian itu adalah yang paling utama karena mendahulukan beberapa hadits.

[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia. Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hal. 146 – 148, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamakhsyari Lc]

---> Video Cara Berihram ada Disini



>>> Doa Niat Umrah

>>> Doa Niat Haji



Berdasarkan Hadits:

صحيح مسلم (6/ 317)

عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي إِسْحَقَ وَعَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ وَحُمَيْدٍ أَنَّهُمْ سَمِعُوا أَنَسًا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَهَلَّ بِهِمَا جَمِيعًا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا لَبَّيْكَ عُمْرَةً وَحَجًّا

Dari Yahya bin Abu Ishaq dan Abdul Aziz bin Shuhaib dan Humaid bahwa mereka mendengar Anas radliallahu ‘anhu berkata; Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ihram untuk haji dan umrah sekaligus: “LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN LABBAIKA UMRATAN WA HAJJAN (Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji. Ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu, untuk umrah dan haji).” (H.R.Shahih Muslim)

No. Hadist: 1468

حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ أَيُّوبَ قَالَ سَمِعْتُ مُجَاهِدًا يَقُولُ حَدَّثَنَا جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَدِمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَنَحْنُ نَقُولُ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ بِالْحَجِّ فَأَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَجَعَلْنَاهَا عُمْرَةً

Telah menceritakan kepada kami Musaddad telah menceritakan kepada kami Hammad bin Zaid dari Ayyub berkata; Aku mendengar Mujahid berkata; telah menceritakan kepada kami Jabir bin 'Abdullah radliallahu 'anhua berkata: "Kami berangkat menuju Makkah bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan kami mengucapkan talbiyah (niat dalam ihram): "Labbaikallahumma labbaika bilhajj" (Ya Allah kami memenuhi panggilanMu untuk berihram hajji). Maka kemudian Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkan kami, maka kami menjadikannya sebagai ihram untuk 'umrah". (Hadis SHAHIH BUKHARI)


Kapan mulai Talbiyah?

Ketika jemaah calon haji telah berihram dari miqat yang telah ditetapkan, maka saat itulah talbiyah dikumandangkan. Talbiyah dianjurkan dilafazkan terus menerus dan berhenti ketika jemaah sudah mulai melakukan tawaf.

No. Hadist: 1448

حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ تَلْبِيَةَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ لَبَّيْكَ إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لَا شَرِيكَ لَكَ

Telah menceritakan kepada kami 'Abdullah bin Yusuf telah mengabarkan kepada kami Malik dari Nafi' dari 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhua bahwa cara talbiyah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah: "Labbaikallahumma labbaik. Labbaika laa syariika laka labbaik. Innal hamda wan ni'mata laka wal mulk. Laa syariika lak". ("Aku datang memenuhi panggilanMu ya Allah. Aku datang memenuhi panggilanMu tidak ada sekutu bagiMu. Sesungguhnya segala puji, nikmat milikMU begitu pula kerajaan. Tidak ada sekutu bagiMu"). (Hadis SHAHIH BUKHARI)

-------------------------------------------


Thawaf Qudum (sewaktu datang). 
Thawaf ini dikerjakan bagi orang yang datang dari luar tanah haram saat baru tiba.disunahkan bagnya melakukan thawah qudum sebelum melakukan sesuatu dari perbuatan haji. Thawaf qudum seperti tahiyyatul masjid dalam shalat sunah.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا قَالَتْ : إن أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ مَكَّةَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ بِالْبَيْتِ (رواه الشيخان)


Dari Aisyah ra, ia berkata: sesungguhnya pertama yang dilakukan Rasulallah saw ketika tiba di Makkah adalah melakukan wudhu kemudian thawaf di baitullah. (HR Bukhari Muslim)

Keterangan:
Ketika datang ke Mekkah dalam keadaan berihram untuk Haji tamattu', maka kegiatan selanjutnya adalah Thawaf 7 kali putaran mengelilingi Ka'bah (Thowaf umrah), kemudian dilanjutkan Sa'i, 7 kali, dimulai dari Shafa dan berakhir di Marwah, dan kegiatan yang terakhir adalah memotong/mencukur rambut. Sehingga selesailah prosesi Umroh, dan setelah itu boleh berganti dengan pakaian biasa. Dan segala larangan dalam Ihram telah selesai (tahallul).
Sekarang CJH tinggal di Mekkah, menggunakan pakaian biasa, sambil menunggu prosesi Haji. 
---> Untuk yg melakukan haji tamattu' dilakukan Thowaf umrah. Dan bagi yg haji ifrad dan Qiran dilakukan thawaf qudum.
Towaf Qudum bagi haji tamattu', adalah Thawaf Umrah.


Prosesi Haji:

I-  Jika Ikut Tarwiyah,
     Berarti ke Mina terlebih Dahulu Sebelum ke Arofah tgl 8 Dzulhijjah.
     Kalau tidak ikut Tarwiyah, langsung saja ke Arofah tgl 9 Dzulhijjah.

II- Wukuf di Arafah
Wukuf artinya berdiam diri di Arafah pada waktunya. Wukuf merupakan salah satu rukun haji, tidak sah Haji seseorang jika tidak berwukuf di Arafah pada tanggal 9 Dhul Hijjah. Masuknya waktu wukuf sesuai dengan ijma’ ulama mulai dari tergelincirnya matahari tanggal 9 Dhulhijjah sampai terbit fajar tanggal 10 Dhulhijjah. Sebaik-baiknya wukuf dilakukan mulai dari tergelincirnya matahari sampai terbenamnya matahari dan sekurang-kurangnya wukuf dilakukan sepintas lalu, yaitu dengan cara melewati Arafah sekedar thuma’ninah sambil berjalan kaki atau mengendarai kendaraan

عن علِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ وَقَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ فَقَالَ هَذَا الْمَوْقِفُ وَعَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ وَأَفَاضَ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ (صحيح الترمذي)

Dari Ali Bin Abu Thalib ra, Rasulullah saw wuquf di Arafah lalu bersabda: “Ini adalah tempat wuquf, dan semua Arafah adalah tempat wuquf”.  Lalu beliau bertolak (meninggalkan Arafah) ketika matahari terbenam (at-Tirmidzi)

Diriwayatkan bahwa Nabi saw berwukuf setelah tergelincir matahari (HR Muslim)

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَعْمَرَ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَهْلِ نَجْدٍ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ بِعَرَفَةَ فَسَأَلُوهُ فَأَمَرَ مُنَادِيًا فَنَادَى الْحَجُّ عَرَفَةُ مَنْ جَاءَ لَيْلَةَ جَمْعٍ قَبْلَ طُلُوعِ الْفَجْرِ فَقَدْ أَدْرَكَ الْحَجَّ (رواه ابو داود وغيره)

Dari Abdurahman bin Yamar ra, bahwa: Manusia dari pendududuk Najed datang kepada Rasulallah saw di Arafah, bertanya kepadanya. Lalu Rasulullah saw menyuruh seseorang berseru: Haji adalah Arafah. barang siapa datang (di Arafah) di malam jama’ (Muzdalifah) sebelum terbit fajar maka ia memperoleh haji. (HR Abu Dawud dll)

Sunah Wukuf
@ – Berwukuf dari siang sampai malam yaitu mulai dari tergelincir matahari sampai tenggelamnya matahari.

عَنْ علِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ وَقَفَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بِعَرَفَةَ فَقَالَ هَذَا الْمَوْقِفُ وَعَرَفَةُ كُلُّهَا مَوْقِفٌ وَأَفَاضَ حِينَ غَابَتْ الشَّمْسُ (صحيح الترمذي)

Dari Ali bin Abi Thalib ra, ia berkata: bahwa Rasulallah saw berwukuf lalu berangkat (meninggalkan Arafah) ketika matahari terbenam. (HR Shahih at-Tirmidzi)

@ – Berwukuf di shakharat sambil menghadap ke kiblat, sesuai dengan yang dilakukan Rasulullah saw,

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : ثُمَّ رَكِبَ حَتَّى أَتَى الْمَوْقِفَ فَجَعَلَ بَطْنَ نَاقَتِهِ الْقَصْوَاءِ إلَى الصَّخَرَاتِ، وَجَعَلَ حَبْلَ الْمُشَاةِ بَيْنَ يَدَيْهِ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ (رواه مسلم)

Dari Jabir ra (haditsnya yang panjang): Kemudian beliau tiba di tempat wukuf maka perut untanya (al-Qaswa) telah berada ke arah shakharat menghadap kiblat (HR Muslim).
Al-Shakhrat adalah satu tempat berada di bawah Jabal Rahmah di padang Arafah

@ – memperbanyak do’a dan dzikir dan sebaik baiknya dzikir dengan memperbanyak membaca :

لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ يُـحْيِي وَيُـمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

لِمَا رُوِىَ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَخَيْرُ مَا قُلْتُ أَنَا وَالنَّبِيُّونَ مِنْ قَبْلِي: لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ المُلْكُ وَلَهُ الحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (وراه الترمذي )

Rasulallah saw bersabda, “Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari ‘Arafah dan sebaik-baik apa yang aku dan para Nabi sebelumku katakan adalah:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، لَهُ اْلمُلْكُ وَ لَهُ اْلحَمْدُ يُـحْيِي وَيُـمِيْتُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ

(Tiada Ilah melainkan Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya, milik-Nya lah segala kerajaan dan pujian dan Dialah Yang Maha berkuasa atas segala sesuatu).” (HR at-Tirmidzi)

@ – Berwukuf dalam keadaan berdiri diatas kendaraan (unta) sesuai dengan apa yang telah dilakukan Rasulallah bahwa beliau wukuf berdiri diatas kendaraannya (unta qaswaa) (HR Bukhari Muslim).

@ – Men-jama’ taqdim dan qoshor sholat Dhuhur dan Ashar di masjid Ibrahim (disebut juga masjid Namirah atau masjid Arafah) yaitu menggabung shalat Dhuhur dan Ashar di waktu dhuhur dengan satu adzan dan 2 kali iqamat, dua raka’at-dua raka’at. Hal ini sesuai dengan perbuatan Rasulallah saw yang diriwayatkan dari Jabir ra dengan haditsnya yang panjang.

Keterangan (Ta’liq):
Sekilas Tentang Arafah
Arafah di sebut dalam Al-Qu’ran dalam bentuk plural ”Arafat” sebagaimana tertera dalam surat al-Baqarah ayat no. 198,

فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ – البقرة ﴿١٩٨﴾

 Artinya: ” Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafat, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam.”

Arafah berjarak sekitar 25 km dari kota Makkah dan merupakan padang pasir yang amat luas dan di bagian belakang dikelilingi bukit-bukit batu yang membentuk setengah lingkaran. Sekarang ini Arafat sudah subur ditanami dengan pohon-pohon.

Di Arafah Nabi saw pernah bersabda: “Aku wukuf disini dan arafah seluruhnya tempat untuk melaksanakan wukuf”. Arafah merupakan Masy’aril haram atau tempat syiar suci, tetapi Arafat sendiri tidak termasuk tanah haram atau tanah suci seperti Makkah. Rasulullah saw bersabda: “Haji itu ialah di Arafah dan setiap bagian tanah Arafah ialah sah untuk wukuf” (hadits tersebut diatas).

Arafah merupakan tempat yang sangat penting dalam perjalanan ibadah Haji. Disanalah para jemaah haji berkumpul untuk melaksanakan wukuf pada tanggal 9 Dzul Hijjah dari tergelincirnya matahari sampai terbenamnya dan sholat Dhuhur dan Asar dijama’ kan atau disatukan dengan satu adzan dan 2 kali iqamat. Wukuf merupakan salah satu rukun haji, tanpa melaksanakan wukuf di Arafah hajinya tidak sah.

Arafah mengingatkan kita kepada Padang Mahsyar di saat manusia dibangkitkan kembali dari kematian oleh Allah dan wukuf di hadapan Nya. Saat itu semua manusia sama di hadapan Allah, tidak ada perbedaan kulit dan bangsa yang membedakan hanyalah kualitas ketaqwaannya kepada Allah.

Di Arafah ada dua tempat yang mempunyai nilai sejarah yang sangat penting yaitu masjid Namirah (masjid Ibrahim) dan bukit Rahmah (jabal Rahmah). Dibawah bukit terdapat sebuah masjid Shakharat. Di masjid Shakharat itulah Nabi saw berwukuf dan pernah turun wahyu yang berbunyi:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الأِسْلاَمَ دِيناً – المائدة ﴿٣﴾

Artinya: “Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu ni’mat-Ku dan telah Ku ridhoi Islam itu jadi agamamu”. (Qs al-Maidah ayat: 3)

Di sana juga ada lembah yang disebut dengan lembah ’Uranah (wadi ’Uranah), lembah ini menjadi batas antara Arafah dengan luar Arafah. Di Arafah Rasulullah saw telah berkhutbah ketika melakukan haji wada’. Menurut hadits Jabir ra yang panjang bahwasanya Nabi saw berkhutbah di hadapan manusia yang sedang melakukan haji bersama sama beliau. Khutbah beliau itu sangat poluler dan dinamakan Khutbatul Wada’ yang dimulai dengan: “Sesungguhnya darah dan harta kalian adalah suci sebagaimana sucinya hari ini, bulan ini dan negeri kalian ini”

Keutamaan Arafah:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا قَالَتْ : إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ، مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ، وَإِنَّهُ لَيَدْنُو، ثُمَّ يُبَاهِي بِهِمِ الْمَلَائِكَةَ، فَيَقُولُ: مَا أَرَادَ هَؤُلَاءِ؟ (مسلم)

– Dari Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda: ”Tidak ada hari paling banyak Allah memerdekakan hambaNya dari neraka daripada hari Arafah. Allah sesungguhnya mendekati mereka dan membangganggakan mereka kepada para Malaikat seraya berkata: Apa saja yang mereka inginkan akan Aku kabulkan” (HR Muslim).

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : أَفْضَلُ الدُّعَاءِ : دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ (رواه الترمذي)

– Hadits lainnya tentang keutamaan tanah Arafah, dari Abu Hurairah ra Rasulallah saw bersabda: “Sebaik-baik doa adalah pada hari Arafah”. (HR at-Tirmidzi)

1- Mabit di Muzdalifah artinya menginap atau bermalam di Muzdalifah pada malam 10 Dzul Hijjah selepas dari wukuf di Arafah. Wajib bagi orang yang melakukan haji untuk datang ke Muzdalifah pada malam Nahar dengan cara menginap atau melewati sepintas lalu.

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ واضْطَجَعَ حَتَّى طَلَعَ الْفَجْرُ وَصَلَّى الْفَجْرَ (رواه مسلم)

Dari Jabir ra, ia berkata: Rasulallah saw datang ke Muzdalifah, lalu shalat maghrib dan Isya. Kemudian beliau berbaring (istirahat tidur), ketika terbit fajar beliau shalat subuh. (HR Muslim)

2- Melontar Jumroh Aqobah
Ada tiga buah Jumroh di Mina, yaitu: Jumrah Aqobah, Jumroh Wustho dan Jumroh Ula. Yang dimaksud dengan jumrah Aqobah adalah melempar pada tanggal 10 Dzul Hijjah yang dilontar hanyalah Jumroh Aqobah. Hal ini dilakukan setelah mabit di Muzdalifah dan setelah terbit matahari.

لِمَا صَحَّ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ أََتَى الجمْرةَ يَعْنِي يَوْمَ النَحْرِ فَرَمَاهَا بسَبْع حَصَيَاتٍ يكبِّرُ معَ كلِّ حَصَاةٍ منها كُلُّ حَصَاةٍ مِثْلَ حَصَى الخَذْفِ رَمَى مِنْ بَطْنِ الوَادِي ثمَّ انْصَرَفَ (رواه مسلم)

Sungguhnya Rasulallah saw tiba di Jumrah Aqobah (yaitu di hari Nahar). Maka beliau melemparnya dengan tujuh kerikil dan bertakbir setiap melempar satu kerikil yang besarnya seperti batu untuk melempar. Beliau melakukannya dari dasar lembah. Setelah itu, beliau berpaling (HR Muslim)

Melempar Jumrah Aqabah hanya dari satu sisi saja, yakni saat Ka'bah berada di sisi kiri dan Mina di sisi kanan:

حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ عُمَرَ وَمُسْلِمُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْحَكَمِ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ يَزِيدَ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ لَمَّا انْتَهَى إِلَى الْجَمْرَةِ الْكُبْرَى جَعَلَ الْبَيْتَ عَنْ يَسَارِهِ وَمِنًى عَنْ يَمِينِهِ وَرَمَى الْجَمْرَةَ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ وَقَالَ هَكَذَا رَمَى الَّذِي أُنْزِلَتْ عَلَيْهِ سُورَةُ الْبَقَرَةِ

Telah menceritakan kepada Kami [Hafsh bin Umar], serta [Muslim bin Ibrahim] secara makna. Mereka berkata; telah menceritakan kepada Kami [Syu'bah] dari [Al Hakam] dari [Ibrahim] dari [Abdurrahman bin Yazid] dari [Ibnu Mas'ud], ia berkata; tatkala beliau telah sampai pada jumrah kubra beliau menjadikan Ka'bah berada di sisi kirinya dan Mina di sisi kanannya, beliau melempar jumrah dengan tujuh kerikil. Ibnu Mas'ud berkata; demikianlah orang yang kepadanya diturunkan Surat Al Baqarah melempar. (Hadits Imam Abu Daud Nomor 1684)

-----------> Setelah selesai melempar jumrah Aqobah, maka kegiatan selanjutnya adalah menyembelih Hadyu -tamattu'- dan mencukur rambut (tahallul pertama). Kemudian melanjutkan perjalanan ke Mekkah untuk Tawaf Ifadhah, dan  Sa'i (tahallul kedua/akhir). Lalu kembali lagi ke Mina, melanjutkan melempar ketiga Jumrah, dihari2 selanjutnya.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا قَالَتْ أَفَاضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ يَوْمِ النَحْرِ حِيْنَ صَلَّى الظُهْرَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مِنًى فَمَكَثَ بِهَا لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ؛ يَرْمِى الْجَمْرَةَ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ (ابو داود وابن حبان

Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bertawaf Ifadhoh di hari akhir (hari Nahar) sewaktu shalat Dhuhur, kemudian kembali ke Mina lalu tinggal di Mina pada malam hari Tasyriq, melontar Jumroh jika matahari telah tergelincir. (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban)

3- Melontar ketiga Jumroh dimulai dari Jumroh Ula, Wusthah, dan Aqobah pada hari hari tasyriq yaitu tg 11, 12, dan 13, setiap jumroh tujuh kali lemparan batu. Adapun cara melontar tiga jumroh pada hari-hari tasyriq menurut sunnah Rasulullah saw adalah sebagai berikut: Dimulai melontar Jumroh Ula tujuh kali, dan membaca takbir bersama setiap lontaran. Lalu melontar Jumroh Wustho tujuh kali, dan membaca takbir bersama setiap lontaran Lalu melontar Jumroh Aqobah tujuh kali, dan membaca takbir bersama setiap lontaran.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، أَنَّهُ كَانَ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الدُّنْيَا بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ عَلَى إِثْرِ كُلِّ حَصَاةٍ ، ثُمَّ يَتَقَدَّمُ حَتَّى يُسْهِلَ مُسْتَقْبِلا الْقِبْلَةَ فَيَقُومُ طَوِيلا وَيَدْعُو ، وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ ثُمَّ يَرْمِي الْجَمْرَةَ الْوُسْطَى ، ثُمَّ يَأْخُذُ ذَاتَ الشِّمَالِ فَيُسْهِلُ ، وَيَقُومُ مُسْتَقْبِلا الْقِبْلَةَ ، ثُمَّ يَدْعُو وَيَرْفَعُ يَدَيْهِ ، وَيَقُومُ طَوِيلا ، ثُمَّ يَرْمِي جَمْرَةَ ذَاتِ الْعَقَبَةِ مِنْ بَطْنِ الْوَادِي وَلا يَقِفُ عِنْدَهَا ، ثُمَّ يَنْصَرِفُ ، وَيَقُولُ : هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُ (رواه البخاري)

Menurut hadits sesungguhnya Ibnu Umar pernah melontar Jumroh Dunia (Ula) dengan 7 kerikil sambil bertakbir setiap melempar kerikil, lalu maju ke tempat yang datar, lalu berdiri lama menghadap kiblat sambil berdoa dengan mengangkat kedua tangannya. Kemudian melontar Jumroh Wustho, lalu mengambil arah ke kiri pergi ke tempat yang datar, lalu berdiri menghadap kiblat kemudian berdoa dengan mengangkat kedua tangannya dan berdiri lama. Kemudian melontar Jumroh Aqobah dari tengah lembah dan tidak berdiri di situ kemudian menyingkir dan berkata: Begitulah saya lihat Rasulullah saw. berbuat. (HR. Bukhari).


حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ بَحْرٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ سَعِيدٍ الْمَعْنَى قَالَا حَدَّثَنَا أَبُو خَالِدٍ الْأَحْمَرُ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ إِسْحَقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الْقَاسِمِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ أَفَاضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ يَوْمِهِ حِينَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مِنًى فَمَكَثَ بِهَا لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ يَرْمِي الْجَمْرَةَ إِذَا زَالَتْ الشَّمْسُ كُلُّ جَمْرَةٍ بِسَبْعِ حَصَيَاتٍ يُكَبِّرُ مَعَ كُلِّ حَصَاةٍ وَيَقِفُ عِنْدَ الْأُولَى وَالثَّانِيَةِ فَيُطِيلُ الْقِيَامَ وَيَتَضَرَّعُ وَيَرْمِي الثَّالِثَةَ وَلَا يَقِفُ عِنْدَهَا

Telah menceritakan kepada Kami [Ali bin Bahr] dan [Abdullah bin Sa'id] secara makna, mereka berkata; telah menceritakan kepada Kami [Abu Khalid Al Ahmar] dari [Muhammad bin Ishaq] dari [Abdurrahman bin Al Qasim] dari [ayahnya] dari [Aisyah] ia berkata; Rasulullah shallAllahu wa'alaihi wa sallam melakukan thawaf ifadhah pada hari terakhirnya ketika telah melakukan Shalat Zhuhur, kemudian beliau kembali ke Mina dan tinggal di sana beberapa malam, pada Hari-hari Tasyriq. Beliau melempar jumrah apabila matahari telah tergelincir. Setiap jumrah dengan tujuh kerikil, beliau bertakbir bersama setiap lemparan kerikil, beliau berdiri pada jumrah pertama dan kedua kemudian berdiri lama dan merendah diri, serta melempar ketiga dan tidak berdiri pada jumrah ketiga. (Hadits Imam Abu Daud Nomor 1683)



4- Mabit di Mina atau bermalam di Mina pada malam-malam Tasyriq.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا قَالَتْ أَفَاضَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ مِنْ آخِرِ يَوْمِ النَحْرِ حِيْنَ صَلَّى الظُهْرَ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى مِنًى فَمَكَثَ بِهَا لَيَالِيَ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ؛ يَرْمِى الْجَمْرَةَ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ (ابو داود وابن حبان

Dari Aisyah ra, ia berkata: Rasulullah saw bertawaf Ifadhoh di hari akhir (hari Nahar) sewaktu shalat Dhuhur, kemudian kembali ke Mina lalu tinggal di Mina pada malam hari Tasyriq, melontar Jumroh jika matahari telah tergelincir. (HR Abu Dawud, Ibnu Hibban)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ : إِنَّ الْعَبَّاسَ بْنَ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ اسْتَأْذَنَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبِيتَ بِمَكَّةَ لَيَالِيَ مِنًى مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ ، فَأَذِنَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُ مِنْ أَجْلِ سِقَايَتِهِ (رواه مسلم

Dari Ibnu Umar ra, diriwayatkan sesungguhnya Abbas bin Abdul Muthallib ra memohon ijin kepada Rasulullah saw. untuk bermalam di Mekah pada malam-malam (orang menginap di Mina) karena tugas memberi minum (orang haji), lalu beliau memberinya ijin. (HR Muslim).

Keterangan (Ta’liq):

Muzdalifah

Muzdalifah: terletak antara Mina dan Arafah. Batasnya dari wadi Muhassir sampai Al-Ma’zamain atau dua gunung yang saling berhadapan yang dipisahkan oleh jalan. Muzdalifah ini termasuk masy’aril haram dan tanah suci,

firman Allah

فَإِذَآ أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُواْ اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنْتُمْ مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّآلِّينَ – البقرة ﴿١٩٨﴾

 Artinya: “Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat”. (Qs Al-Baqarah ayat:198)

Menurut ibnu umar ra. yang dimaksud dengan Masy’aril haram dalam ayat tersebut ialah Muzdalifah seluruhnya.

Muzdalifah juga merupakan tempat mabit atau bermalam, setelah meninggalkan Arafah tanggal 9 Dzulhijjah. Jamaah Haji dianjurkan untuk sholat Maghrib & Isya jama’ ta’khir dengan satu Azan dan 2 kali Iqamat di Muzdalifah, lalu menuju ke Mina setelah shalat Subuh. Dianjurkan memungut batu kerikil untuk melempar Jumroh di Mina atau diperbolehkan juga memungut batu kerikil di Mina.

Mina

Mina merupakan tanah haram karena lokasinya berdekatan dengan Makkah. Jaraknya dengan Makkah kurang lebih 7 km. Mina adalah perkampungan kecil yang dihuni oleh manusia setahun sekali dengan tujuan mabit (bermalam) dalam rangka manasik haji, karena itu orang Arab menyebutnya Mina.

Mina mulai penuh didatangi oleh jamaah haji pada tanggal 8 Dzulhijah atau sehari sebelum wukuf di Arafah. Jama’ah haji tinggal disini sehari semalam sehingga dapat melakukan sholat lima waktu. Kemudian setelah sholat Subuh tanggal 9 Dzulhijah, jamaah haji berangkat ke Arafah. Kemudian Jama’ah haji datang lagi ke Mina setelah selesai melaksanakan wukuf di Arafah yaitu pagi tanggal 10 Dzulhijjah untuk melempar Jumrah Aqabah saja, kalau bisa dilanjutkan mencukur rambut (tahallul 1). Setelah itu pakaian Ihram boleh dilepas dan diganti baju biasa, namun masih ada larangan (baca keterangan yang lainnya). Kemudian ke Mekkah untuk melakukan Tawaf Ifadloh, Sa'i (tahallul 2).  Setelah tahallul kedua segala yang diharamkan sebelumnya, kini dihalalkan.
Tanggal 10 Dzulhijjah, setelah Tawaf Ifadloh dll, sampai dengan tanggal 12 atau 13 Dzulhijah kembali ke Mina dan wajib untuk bermalam untuk melempar jumroh (Jumroh Aqabah, Jumroh Wustha dan Jumroh Ula) pada hari-hari tersebut. Berarti tanggal 10 Dzulhijjah malam (sudah masuk tanggal 11 Dzulhijjah), 11 Dzulhijjah malam (sudah masuk tanggal 12 Dzulhijjah) dan 12 Dzulhijjah malam menginap di Mina, untuk Nafar Tsani dan tanggal 10 Dzulhijjah malam dan 11 Dzulhijjah malam menginap di Mina untuk Nafar Awal.

Adapun pergi ke Mina pada tanggal 8 Dzulhijjah (hari Tarwiyyah) hukumnya sunah. Sementara itu mabit atau menginap di Mina dan melontar Jumroh pada hari-hari tasyrik merupakan wajib haji, artinya bila tidak dikerjakan maka hajinya tetap sah namun dia harus membayar denda yang disebut dalam ilmu fiqih ”Dam”.

Di Mina ada tempat melempar jumroh, yaitu Jumroh Aqabah, Jumroh Wustha dan Jumroh Ula. Tentu ketiga jamarat itu memiliki nilai sejarah yang sangat penting bagi umat islam yang berkaitan erat dengan sejarah nabi Ibrahim dan puteranya Ismail as.

Selain 3 jumroh kita temukan sebuah masjid bersejarah yang disebut masjid al-Kheif. Konon letaknya dikaki gunung tidak berjauhan dari jumrah Ula. Di sana Nabi saw pernah sholat demikian pula para Nabi sebelum beliau.

Rasulullah saw ketika haji wada’ bermalam dan sholat di Mina pada malam hari-hari Tasyriq yaitu hari 11,12,13 Dzul Hijjah, dimana didalamnya terdapat pula Hari Raya Idul Adha.

قَوْله صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : نَحَرْتُ هَاهُنَا , وَمِنًى كُلّهَا مَنْحَر , فَانْحَرُوا فِي رِحَالِكُمْ (رواه مسلم)

Nabi saw bersabda: “Aku menyembelih korban di sini, dan seluruh Mina ialah tempat menyembelih, maka sembelihlah korban dalam perjalanan kalian”. (Shahih Muslim)

وَاذْكُرُواْ اللَّهَ فِي أَيَّامٍ مَّعْدُودَاتٍ فَمَن تَعَجَّلَ فِي يَوْمَيْنِ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ وَمَن تَأَخَّرَ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ

 Artinya: ”Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang. Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah dua hari (Maksudnya Nafar Awal), maka tiada dosa baginya. Dan barang siapa yang ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu) (Maksudnya Nafar Tsani), maka tiada dosa baginya” (Qs al-Baqarah ayat:203)

III- Thawaf Ifadhah (Urutannya sudah dijelaskan diatas, yang waktunya dimulai dengan setelah selesainya Lempar Jumrah Aqabah tanggal 10 dzulhijjah (hari raya)) 

Thawaf ifadhah adalah mengelilingi ka’bah sebanyak tujuh kali dimulai dari memberi salam kepada Hajar Aswad dan diakhiri dengan salam pula kepadanya. Thawaf ifadhah merupakan salah satu rukun Haji tidak sah Haji seseorang tanpa melakukan thawaf ifadhah. Waktunya mulai dari tanggal 10 dzulhijjah (hari raya) sampai tidak ada batas tertentu.

Allah berfirman:

وَلْيَطَّوَّفُواْ بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ – الحج ﴿٢٩﴾

 Artinya “dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (Qs Al-Hajj ayat: 29)

Wajib Thawaf

1- Bersih dari hadast besar dan kecil

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا إِنَّ أَوَّلَ شَيْءٍ بَدَأَ بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ حِينَ قَدِمَ مَكَّةَ أَنَّهُ تَوَضَّأَ ثُمَّ طَافَ بِالْبَيْتِ (رواه الشيخان)

Dari Aisyah ra, dia mengatakan sesungguhnya hal yang pertama kali dilakukan Rasulullah saw ketika tiba di Mekah adalah berwudhu kemudian thawaf di baitullah. (HR Bukhari Muslim).

2- Suci pakaian, badan dan tempat dari najis

عن ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ إلَّا أَنَّ اللَّهَ أَبَاحَ فِيهِ الْكَلَامَ فَمَنْ تَكَلَّمَ فِيهِ فَلَا يَتَكَلَّمُ إلَّا بِخَيْرِ ( الترمذي والدارقطني)

Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Sesungguhnya Nabi saw bersabda: “Thawaf adalah seperti shalat, hanya Allah memperbolehkan berbicara di dalamnya. Maka barang siapa berbicara maka janganlah berbicara kecuali dengan pembicaraan yang baik. (HR Tirmidzi dan Daroqutni)

3- Menutup aurat

عَنْ أَبِي هرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ أَبَا بَكْرٍ الصِّدِّيقَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ بَعَثَهُ في الحَجَّةِ الَّتي أَمَّرَهُ النَّبيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهَا قَبْلَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ يَوْمَ النَّحْرِ في رَهْطٍ يُؤَذِّنُ في النَّاسِ لا يحُجُّ بَعْدَ الْعَامِ مُشْرِكٌ وَلا يَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ (الشيخان)

Dari Abu Hurairah ra bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq ra pernah mengutusnya pada waktu haji yang telah diperintahkan Rasulullah saw sebelum haji wada’, pada hari Nahar (tanggal 10 Dzhul Hijjah) bersama sejumlah sahabat untuk menyampaikan kepada masyarakat luas larangan dari beliau: agar tidak boleh ada orang musyrik yang menunaikan ibadah haji dan tidak boleh (pula) melakukan thawaf dengan telanjang bulat di Baitullah. (HR Bukhari Muslim)

4- Ka’bah berada di sebelah kiri orang yang tawaf, dan tidak boleh lewat di atas Syadhrawan (pondasi ka’bah) dan dalam Hijir lsma’il, karena Syadhrawan dan Hiiir lsma’il itu bagian dari ka’bah.

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَاسْتَلَمَ الْحَجَرَ ثُمَّ مَضَى عَلَى يَمِينِهِ فَرَمَلَ ثَلَاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا (مسلم)

Hal ini berdasarkan pada pernyataan Jabir r.a., ”Tatkala Rasulullah saw. tiba di Mekkah, masuk ke masjid lalu beliau mendatangi Hajar Aswad lalu menyalaminya, kemudian berjalan di sebelah kanannya, lalu berlia lari-lari kecil tiga kali putaran dan berjalan biasa empat kali putaran.” (HR Muslim)

5- Memulai thawaf dari Hajar Aswad

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَقْدَمُ مَكَّةَ ، يَسْتَلِمُ الرُّكْنَ الأَسْوَدَ أَوَّلَ مَا يَطُوفُ يَخُبُّ ثَلاثَةَ أَطْوَافٍ مِنَ السَّبْعِ (البخاري ومسلم)

Dari Salim dari Bapaknya ra, ia berkata: Aku melihat Rasulallah saw tatkala tiba di Mekkah, beliau mendatangi Hajar Aswad lalu menyalaminya. Dan pertama thawaf beliau lari-lari kecil tiga kali dari tujuh kali putaran.” (HR Bukhari Muslim)

6- Melakukan thawaf tujuh kali putaran sempurna dimulai dari hajar aswad dan diakhri di hajar aswad, karena Nabi saw melakukannya tujuh kali putaran,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَرَى إِلَّا الْحَجَّ حَتَّى قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ فَطَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا وَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ (رواه مسلم)

Dari Jabir ra,  bahwa kami keluar bersama Rasulallah saw, tidak bertujuan kecuali haji, sampai beliau datang ke Mekkah, lalu thawaf di Baitullah tujuh kali putaran kemudian shalat di belakang maqam Ibrahim ” (HR Muslim)

7- Melakukan thawaf di dalam masjid yaitu sekitar ka’bah dan syadzrawan (fondasi ka’bah)

Allah berfirman:

وَلْيَطَّوَّفُواْ بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ – الحج ﴿٢٩﴾

 Artinya: “dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).” (Qs Al-Hajj ayat: 29)

Sunah Thawaf

@ – Pada thawaf pertama, kedua dan ketiga belari kecil, dan pada thawaf keempat, kelima, keenam dan ketujuh berjalan kaki biasa.

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَاسْتَلَمَ الْحَجَرَ ثُمَّ مَضَى عَلَى يَمِينِهِ فَرَمَلَ ثَلَاثًا وَمَشَى أَرْبَعًا (مسلم)

Hal ini berdasarkan pada pernyataan Jabir ra ”Tatkala Rasulullah saw. tiba di Mekkah, masuk ke masjid lalu beliau mendatangi Hajar Aswad lalu menyalaminya, kemudian berjalan di sebelah kanannya, lalu berlia lari-lari kecil tiga kali putaran dan berjalan biasa empat kali putaran.” (HR Muslim)

@ – Mencium Hajar Aswad atau mengusapnya dengan tangannya

عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ : رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ يَقْدَمُ مَكَّةَ ، يَسْتَلِمُ الرُّكْنَ الأَسْوَدَ أَوَّلَ مَا يَطُوفُ (رواه الشيخان)

Dari Salim, dari ayahnya,  ia berkata: aku melihat Rasulallah saw tatkala tiba di Mekkah, beliau menyalami Hajar Aswad ketika pertama melakukan thawaf” (HR Bukhari Muslim)

عَنْ سَالِمٍ أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ قَالَ: قَبَّلَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ الْحَجَرَ، ثُمَّ قَالَ: أَمَ وَاللَّهِ! لَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّكَ حَجَرٌ، وَلَوْ لَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ (رواه الشيخان)

Dari Salim bahwa ayahnya mengatakan: Umar bin Khattab ra disaat mencium Hajar Aswad. Beliau berkata: “Sesungguhnya aku tahu bahwa kamu adalah batu yang tidak mendatangkan bahaya dan memberi manfaat, kalaulah bukan karena aku pernah melihat Rasullah saw menciummu nistaya aku tidak akan memciummu” (HR. Bukhari dan Muslim)

@ – Mengusap Rukun Yamani dengan tanganya lalu menciumnya (tanyangnya)

عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ مَا تَرَكْتُ اسْتِلَامَ هَذَيْنِ الرُّكْنَيْنِ – الرُكْنَيْنِ اليَمَانِي وَ الحَجَرِ الاَسْوَدِ –  فِي شِدَّةٍ وَلَا رَخَاءٍ مُنْذُ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَلِمُهُمَا (رواه الشيخان)

Dari Ibnu Umar ra, (Abdullah putra Umar bin Khattab ra), ia berkata: “Aku tak pernah meninggalkan untuk menyalami kedua rukun Yamani dan Hajar Aswad semenjak aku melihat Rasulallah saw menyalaminya disaat susah dan senang.” (HR Bukhari Muslim)

@ – Memperbanyak do’a dan zikir, dan sebaik baiknya do’a ketika thawaf adalah:

“Rabbana atina fiddunya hasanatan wa fil akhirati hasanata wa qina ‘adzabanar”

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ السَّائِبِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الرُّكْنَيْنِ يَقُولُ : “رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ” (حسن أبو داود و النسائي)

Dari Abdullah bin As-Saib ra, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah saw. ketika berada diantara dua rukun ini yaitu Rukun Yamani dan Rukun Hajar Aswad, beliau membaca doa:

رَبَّنَآ آتِنَا فِي ٱلدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي ٱلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ

”Ya Tuhan kami, berilah kami kabaikan didunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka” (HR Abu Dawud, An-Nasai’, hadits hasan)

@ – Mendekatkan diri dengan ka’bah ketika thawaf jika mampu. Hal ini untuk mengambil barakah dan memudahkan untuk memberi salam atau menciumnya. Tapi harus diperhatikan berdekatan dengan ka’bah di waktu musim haji penuh perjuangan yang dahsyat. Maka jika bisa mendatangkan bahaya lebih baik menjauhi diri dari desakan manusia.

@ – Melakukan shalat sunah dua raka’at di Maqam Ibrahim setelah thawaf. Sesuai dengan perbuatan Rasulallah saw yang diriwayatkan dari Jabir ra,

عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ : خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نَرَى إِلَّا الْحَجَّ حَتَّى قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَكَّةَ فَطَافَ بِالْبَيْتِ سَبْعًا وَصَلَّى خَلْفَ الْمَقَامِ رَكْعَتَيْنِ (رواه مسلم)

Dari Jabir ra,  bahwa kami keluar bersama Rasulallah saw, tidak bertujuan kecuali haji, sampai beliau datang ke Mekkah, lalu thawaf di Baitullah tujuh kali putaran kemudian shalat di belakang maqam Ibrahim ” (HR Muslim)

Keterangan (Ta’liq):
Tempat-Tempat Penting di Sekitar Thawaf

1-  Hajar Aswad merupakan area sempit dan tempat permulaan dan akhir thawaf. Sebelum thawaf diharuskan memberi salam (disunahkan mengusap atau menciumnya), karena itu diperebutkan jutaan orang saat berhaji atau umrah hanya sekedar untuk menciumnya. Mencium atau mengusap Hajar Aswad di musim haji penuh perjuangan yang dahsyat. Mencium Hajar Aswad bukanlah suatu kewajiban, tapi merupakan anjuran dan sunnah Nabi saw. Maka kalau keadaan tidak memungkinkan karena penuhnya orang berdesakan terutama di musim Haji, sebaiknya urungkan saja niat untuk mencium atau mengusap batu ini, cukup hanya memberi salam dari jauh.

2 –  Multazam terletak antara Hajar Aswad dan pintu Ka’bah berjarak kurang lebih 2 meter. Dinamakan Multazam karena dilazimkan bagi setiap muslim untuk berdoa di tempat itu. Setiap doa dibacakan di tempat itu sangat diijabah atau dikabulkan, karena itu diperebutkan jutaan orang saat berhaji atau umrah. Semua berusaha berdoa menyampaikan hajat masing-masing di lokasi sempit itu. Untuk menyentuh Multazam terutama di musim haji tidak mudah, penuh dengan perjuangan. Hanya pertolongan dan anugrah Allah seseorang dapat menikmati kemurahan-Nya di Multazam.

3 – Makam Ibrahim bukan kuburan Nabi Ibrahim as sebagaimana banyak orang berpendapat. Maqam dalam bahasa Arab artinya tempat berdiri. Makam Ibrahim adalah tempat berdirinya Nabi Ibrahim saat membangun kembali Ka’bah. Makam Ibrahim merupakan bangunan kecil terletak di sebelah timur Ka’bah. Di dalam bangunan tersebut terdapat batu yang diturunkan oleh Allah dari surga bersama-sama dengan Hajar Aswad. Di atas batu itu Nabi Ibrahim berdiri di saat beliau meninggikan bangunan Ka’bah dari pondasinya. Nabi Ismail as membantu meletakkannya agar Nabi Ibrahim as dapat naik lebih tinggi di atas batu tersebut. Dan tempat pijakan dua kaki nabi Ibrahim itu dengan seizin Allah berbekas di atas batu tersebut dan masih tetap ada sampai sekarang. Tataka Islam datang, Allah menganjurkan untuk sholat di belakang maqam Ibrahim seperti firman Allah:

وَاتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبْرَاهِيمَ مُصَلًّى وَعَهِدْنَآ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيْتِيَ لِلطَّائِفِينَ وَالْعَاكِفِينَ وَالرُّكَّعِ السُّجُودِ – البقرة ﴿١٢٥﴾

Artinya: ”Dan jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim tempat shalat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: “Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang iktikaf, yang rukuk dan yang sujud” (Qs al-Baqarah ayat:125).

4 – Hijir Ismail termasuk bagian dari Ka’bah, makanya saat thawaf diharuskan mengelilinginya. Hal ini dikuatkan melalui Hadits Rasulallah saw.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا قَالَتْ : كُنْتُ أُحِبُّ أنْ أدْخُلَ البيْتَ فأُصَلِّي فيهِ فأَخَذَ رسولُ الله بِيَديِ فأَدْخَلَنيِ الْحِجْرَ وَقَالَ صَلِّي فِي الْحِجْرِ إن أرَدْتِ دُخُولَ البيتِ فإِنَّما هُوَ قِطْعَة مِنَ البَيْتِ (الترمذي)

Dari Aisyah ra. bahwasanya ia berkata:”Aku ingin sekali masuk ke kabah dan sholat didalamnya, lalu Rasulullah saw. menarik tanganku dan membawanya ke dalam hijir ismail, sambil berkata: ”Sholatlah di dalamnya jika engkau ingin masuk kabah, karena ia merupakan bagian dari Ka’bah”. (HR. At-Tirmidzi)

5 – Rukun yamani adalah sisi atau sudut Ka’bah yang menghadap ke arah Yaman. Atau disebut sudut arah Yaman. Rukun yang sejajar dengan hajar aswad ini sangat penting artinya bagi keistimewaan Ka’bah. Di sudut ini setiap jamaah yang thawaf disunnahkan untuk menyalami atau mengusap dengan tangan kanan atau cukup dengan melambaikan tangan ke arah sudut ini dengan mengucap “Bismillah Wallahu Akbar”. Menurut riwayat dari Ibnu Abbas ra. bahwa Nabi saw hanya menyalami Hajar Aswad dan Rukun Yamani saja.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : إِنَّ مَسْحَ الْحَجَرِ الأَسْوَدِ وَالرُّكْنِ الْيَمَانِيِّ يَحُطَّانِ الْخَطَايَا حَطًّا (رواه احمد ، الطبراني ، النسائي)

Sedangkan Ibnu Umar ra mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya mengusap keduanya yakni Hajar Aswad dan Rukun Yamani dapat menghapus dosa-dosa.” (HR Ahmad, at-Thabrani, an-Nasai)

Rasulullah saw. ketika berada diantara dua rukun ini yaitu Rukun Yamani dan Rukun Hajar Aswad, beliau membaca doa:

رَبَّنَآ آتِنَا فِي ٱلدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي ٱلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ – البقرة ﴿٢٠١﴾

 Artinya: ”Ya Tuhan kami, berilah kami kabaikan didunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa api neraka.” (Qs Al-Baqarah ayat: 201)



IV- Sa’i (Urutannya sudah dijelaskan diatas, yang waktunya dimulai dengan setelah selesainya melakukan Tawaf)

Sa’i dalam bahasa artinya usaha dan dalam ilmu fiqih adalah berjalan dimulai dari bukit Shafa dan berakhir di bukit Marwa sebanyak tujuh kali. Sa’i merupakan salah satu rukuh Haji, tidak sah Haji atau umrah seseorang jika ia tidak melakukan sa’i.  Sa’i dilakukan setelah tawaf, baik thawaf Umrah maupun thawaf Ifadhoh.

Allah berfirman:

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِ – البقرة ﴿١٥٨﴾

Artinya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah” – (Qs al-Baqarah ayat: 158)

قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ : اسْعَوْا فَإِنَّ اللَّهَ كَتَبَ عَلَيْكُمُ السَّعْيَ  (وروى الدارقطني ، البيهقي حديث حسن)

Rasulallah saw bersabda: “Wahai manusia bersa’ilah kamu, sesungguhnya Allah telah mewajibkan sa’i atas kamu” (HR Ad-Dar qutni, Al-Baihaqi, hadits hasan)


Wajib Sa’i

1- dimulai dari Shofa dan diakhiri di Marwah.

لِمَا صَحَّ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ (رواه مسلم)

Rasulallah saw bersabda: “Aku memulai dari apa yang Allah memulai darinya”  (HR Muslim). Yaitu Allah memulai dengan kata Shafa baru setelah itu Marwah.

2- Sa’i dilakukan sebanyak tujuh kali, dihitung mulai dari Shafa ke Marwa satu kali. Kemudian dari Marwa ke Shafa satu kali. Begitulah seterusnya tujuh kali bolak-balik diakhiri di bukit Marwah.

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ سَعَى سَبْعًا بَدَأَ بِالصَفَا وَ فَرَغَ عَلَى المَرْوَةِ (رواه مسلم)

Sesuai dengan hadits dari Jabir ra, sesungguhnya Rasulallah saw sa’i sebanyak tujuh kali dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah (HR Muslim)

3- Sa’i dilakukan setelah melakukan thawaf ifadhah atau thawaf qudum

لِمَا رُوِىَ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ سَعَى بَعْدَ الطَّوَافِ وَقَالَ: لِتَأْخُذُوا عَنِّي مَنَاسِكَكُمْ (رواه مسلم)

Sesuai dengan hadits Nabi saw, sesungguhnya Rasulallah saw sa’i setelah thawaf, lalu bersabda: “Ambilah manasik hajimu dan umrahmu dari aku” (HR Muslim)


Sunah-Sunah Sa’i

@ – Naik ke atas bukit Shofa dan Marwah dan menghadap ke Ka’bah

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ بَدَأَ بِالصَّفَا فَرَقِيَ عَلَيْهِ حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ.. فَفَعَلَ عَلَى الْمَرْوَةِ كَمَا فَعَلَ عَلَى الصَّفَا (رواه مسلم )

Dari Jabir ra, katanya: Sesungguhnya Nabi saw memulai dari Shofa lalu naik ke atasnya sampai melihat baitullah. Kemudian beliau berbuat di atas Marwah yang beliau perbuat di atas Shofa. (HR Muslim)

@ – Memperbanyak do’a dan dzikir seperti yang diajarkan Rasulallah saw

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَبْدَأُ بِمَا بَدَأَ اللَّهُ بِهِ فَرَقِيَ عَلَيْهِ حَتَّى رَأَى الْبَيْتَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ ، فَوَحّدَ الله وكبّرهُ وقال: ” لا إله إلا الله وحْدَهُ لا شريك لهُ، لـهُ المُلْكُ ولـه الحمدُ وهُوَ على كُلِّ شيءٍ قديرٌ، لا إله إلا الله أَنجزَ وَعْدهُ، ونصر عبْدَهُ، وهَزَمَ الأحزابَ وحْدَهُ ” ثم دعا بين ذلك ثلاث مرَّاتٍ، ثم نزل من الصَّفَا إلى المرْوَةِ (رواه الشيخان)

Dari Jabir ra, katanya: Sesungguhnya Nabi saw. mulai dari Shofa lalu naik ke atasnya sampai melihat baitullah lalu menghadap kiblat. Lalu membaca kalimat tauhid dan takbir dan mengucap: “Laa Ilaaha Illallahu wahdah, Laa syariika lah, Lahul Mulku wa Lahul Hamdu, Wa Huwa ‘alaa kulli syaiin Qodiir. La Ilaaha Ilallahu wahdah, Anjaza wa’dah, Wa Nashoro ‘Abdah, Wa Hazamal Ahzaaba Wahdah”. Lalu berdoa diantara itu lalu mengucap seperti bacaan itu tiga kali. Kemudian turun ke Marwah. (HR Bukhari Muslim)

@ – Berjalan kaki di permulaan dan akhir  sa’i, baik dari Shafa ke Marwah atau dari Marwah ke Shafa. Lalu berlari kecil ketika sampai pada batas ”Mailain” yaitu batas dimana disunahkan untuk berlari kecil. Batas tersebut sekarang telah ditandai dengan dua lampu hijau atau disebut juga “pilar hijau”.  Jika masuk pada batas garis tersebut disunnahkan raml atau harwalah (lari kecil).

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ فِي حَدِيْثِهِ الطَوِيْلِ قِالِ : ثُمَّ نَزَلَ إِلَى الْمَرْوَةِ حَتَّى إِذَا انْصَبَّتْ قَدَمَاهُ فِي بَطْنِ الْوَادِي سَعَى حَتَّى إِذَا صَعِدَتَا مَشَى حَتَّى أَتَى الْمَرْوَةَ فَفَعَلَ عَلَى الْمَرْوَةِ كَمَا فَعَلَ عَلَى الصَّفَا (رواه مسلم)

Sesuai dengan hadits yang panjang dari jabir ra “Terus beliau (Rasulallah saw) turun dari Shofa berjalan menuju Marwah. Sesampai di tengah wadi beliau berlari kecil. Lalu berjalan biasa ketika naik ke Marwah. Ketika sampai di Marwah beliau berbuat seperti di atas Shofa” (HR Muslim)

Keterangan (Ta’liq):

Setelah melakukan Thowaf 7 kali putaran, kemudian, menuju ke Bukit Shafa untuk melaksanakan sa’i dan jika telah mendekati Shafa, membaca,

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ

Innash shafaa wal marwata min sya’airillah”  (Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syiar Allah) (QS. Al Baqarah: 158).

Bukit Shafa dan Marwah adalah dua buah bukit yang terletak dekat dengan Ka’bah (Baitullah). Bukit Shafa dan Marwah ini memiliki peranan sangat penting dalam sejarah Islam, khususnya dalam pelaksanaan ibadah haji dan umrah. Bukit Shafa dan Marwah yang berjarak sekitar 450 meter itu, menjadi salah satu dari rukun haji dan umrah. Tidak sah haji atau umrah seseorang jika tidak melakukan sa’i antara Shofa dan Marwah sebanyak tujuh kali.

Shafa merupakan sebuah bukit kecil yang menyambung ke bukit Abi Qubais. Di bukit ini,  dulunya terdapat Darul Arqam, Darul Saib bin Abi Saib dan Darul al-Khuld yang sekarang semuanya sudah disatukan menjadi tempat sa’i. sedangkan bukit Marwah bukit yang menyambung dengan bukit Qaiqu’an dan mengarah ke rukun Syami, jaraknya 300 m dari Ka’bah. Marwah merupakan tempat terakhir thawaf.

Dari segi fisik, tidak ada yang istimewa dari kedua bukit itu. Namun, tujuan Allah memerintahkan Ibrahim as agar membawa keluarganya ke Makkah yang kelak di lokasi tersebut rumah Allah (Baitullah) berdiri.

Bukit Shafa dan Marwah tidak dapat dipisahkan dengan kisah seorang wanita yang tak punya tempat bernaung, tak berdaya, namun penuh iman, ikhlas, dan ta’at, dangan harapan agar kelak menjadi symbol keimanan dimasa mendatang. Dialah siti Hajar yang melahirkan anaknya Ismail as di lembah yang tandus tak berair. Ia tinggalkan anaknya dan berusaha (sa’i) mencari air. Ia berusaha sekuat tenaga naik ke bukit Shofa. Di atas bukit ia melihat kekiri dan kekanan. Harapanya penuh melihat kafilah datang yang bisa membantunya. Kemudian ia berlari lagi ke bukit Marwah. Di sana ia melakukan sama seperti dilakukannya di bukit Shafa. Demikian seterusnya tujuh kali ia berlari bulak balik dari Shofa ke Marwah. Kisah ini merupakan kudwah atau teladan bagi kita untuk melakukan apa yang telah dilakukan Siti Hajar sesuai dengan perintah Allah

إِنَّ ٱلصَّفَا وَٱلْمَرْوَةَ مِن شَعَآئِرِ ٱللَّهِ فَمَنْ حَجَّ ٱلْبَيْتَ أَوِ ٱعْتَمَرَ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِ أَن يَطَّوَّفَ بِهِمَا – البقرة ﴿١٥٨﴾

Artinya: “Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya“ – (Qs al-Baqarah ayat: 158).


V- Tahallul

Tahallul merupakan rukun kelima dari rukun-rukun Haji. Tahallul adalah perbuatan yang sama seperti salam dalam shalat. Tahallul ada beberapa cara:
1. Melontar Jumratul Aqabah dilanjutkan mencukur atau memotong rambut (tahallul pertama).
2. Melakukan thawaf ifadhah dan sa'i (tahallul kedua)

Untuk urutan pengerjaan, seperti diterangkan sebelumnya, dan boleh juga tidak berurutan seperti yang disebutkan (baca keterangan di bagian lain dalam artikel ini)
---> Dengan melempar jumrah Aqobah kemudian mencukur rambut atau memotongnya, berarti telah bertahallul awal (tahallul pertama) yaitu diperbolehkan melakukan apa saja yang diharamkan dalam perbuatan haji kecuali berjima’ dengan istri sampai selesai mengerjakan thawaf ifadhah dan sa'i (tahallul kedua). Sa'i sudah termasuk dalam kegiatan Thawaf ifadhah, karena itu kadangkala, Sa'i tidak disebutkan. Namun, yang sebenarnya adalah: Thawaf ifadhah = Thawaf kemudian dilanjutkan Sa'i.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: إِذَا رَمَيْتُمُ الْجَمْرَةَ، فَقَدْ حَلَّ لَكُمْ كُلُّ شَيْءٍ إِلا النِّسَاءَ (النسائي ، ابن ماجة بإسناد جيد)

Dari Ibnu Abbas ra, Rasulallah saw bersabda: “Jika Kalian telah melempar jumrah. maka segala sesuatu halal. kecuali wanita” (HR an-Nasai’, Ibnu Majah dengan isnad jayyid)

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا قَالَتْ : طَيَّبْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحُرْمِهِ حِينَ أَحْرَمَ ، وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ (رواه الشيخان)

Dari Aisyah ra, ia berkata: Aku pernah memberi wewangian Rasulullah saw untuk ihramnya sebelum berihram dan untuk tahallul-nya sebelum melakukan thawaf di Ka’bah. (HR Bukhari Muslim)

Untuk tahallul haji maupun umrah maka lebih utama bagi laki-laki jika mencukur rambutnya sampai habis dan bagi wanita cukup dengan memotong rambut sekurang-kurangnya 3 halai rambut

عَنْ عَبْـدِ الله بْنِ عُمَرَ رَضيَ الله عَنْهُمَا أَنَّ رَسُـولَ الله صلى الله علـيه وسـلم قَالَ : اللَّهُمَّ ارْحَـمِ الْمُحَلِّقِيـنَ. قَالُوْا: وَالْمُقَصِّـرِينَ يَا رَسُـول الله؟ قَالَ : الَّلهُمَّ ارْحَم الْمحَلِّقِينَ. قالوا: وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ الله؟ قَالَ: الَّلهُمَّ ارْحَمِ المُحلِّقِينَ، قَالُوا وَالْمُقَصِّرِينَ يَا رَسُولَ الله قَالَ: وَالمُقَصِّرِينَ (رواه الشيخان)

Sesuai dengan hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Abdullah bin Umar ra, bahwa beliau mendo’akan dengan ampunan dan rahmat Allah kepada orang-orang yang bercukur sebanyak tiga kali dan hanya sekali kepada orang-orang yang menggunting rambut. Maka demikian itu menunjukkan bahwa yang utama adalah mencukur habis.

Dengan melakukan thawaf ifadhah (tahallul kedua) maka selesailah pelaksanaan ibadah haji dan boleh melakukan apa saja yang diharamkan dalam perbuatan haji atau dalam arti luas kembali kepada kehidupan normal seperti biasa tanpa ada ikatan ibadah haji.


Thawaf wada’ (tawaf perpisahan). 
Tawaf ini dikerjakan saat mau berangkat meninggalkan Mekah. la wajib dikerjakan, kecuali wanita yang sedang haid.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ : لاَ يَنْفِرَنَّ أَحَدٌ حَتَّى يَُكُوْنَ آخِرُ عَهْدهِ بِالبَيْتِ (رواه مسلم)

Ada hadits yang menerangkan yang diriwatkan dari ibnu Abbas ra, Rasulallah saw bersabda: “Janganlah salah seorang diantara kalian keluar, sehingga akhir urusannya adalah (thawaf) di Baitullah. (HR Muslim)

---> Video Manasik Haji ada di Sini


Peta Petunjuk


>> Manasik Haji Lengkap


Silahkan Download Manasik Haji Lengkap Di Sini (Besar)


>> Peta Perjalanan Haji


>> Denah Kabah



>> Peta Jamarot





>> Peta Masjidil Haram 2015
Silahkan Download Peta Masjidil Haram Di Sini (Lengkap)


>> Peta Masjid Nabawi
Silahkan Download Peta Masjid Nabawi Di Sini (Besar)





>> Peta Pemondokan Makkah-Madinah 2018
Silahkan Lihat di Sini


>> Peta Pemondokan di Makkah 2016
Silahkan Lihat di Sini

>> Peta Pemondokan di Madinah 2016


Asesoris yang Tidak Boleh Di LEPAS




Renungan:
QS.2. Al Baqarah:

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

197. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.

(Haji), maksudnya adalah waktu dan musimnya (beberapa bulan yang dimaklumi), yaitu:
- Syawal,
- Zulkaidah
- dan 10 hari pertama bulan Zulhijah. Tetapi ada pula yang mengatakan seluruh bulan Zulhijah.

(Maka barang siapa yang telah menetapkan niatnya) dalam dirinya (akan melakukan ibadah haji pada bulan-bulan itu), ia harus memelihara etika haji. Etika haji itu, di antaranya, adalah bahwa seseorang yang berihram,
- (maka tidak boleh ia mencampuri istrinya), yakni bersetubuh
- (dan jangan berbuat kefasikan) berbuat maksiat
- (dan jangan berbantah-bantahan) atau terlibat dalam percekcokan (sewaktu mengerjakan haji).
Menurut satu qiraat, dengan baris di atas dua hal yang pertama dan makna yang dimaksud adalah larangan mengerjakan tiga hal itu.

(Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan) sedekah (pastilah diketahui oleh Allah) yang akan membalas kebaikan itu. Ayat berikut ini diturunkan kepada penduduk Yaman yang pergi naik haji tanpa membawa bekal, sehingga mereka menjadi beban orang lain. (Dan berbekallah kamu) yang akan menyampaikan kamu ke tujuan perjalananmu (dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa), artinya yang dipergunakan manusia untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban bagi orang lain dan sebagainya. (Dan bertakwalah kamu kepada-Ku, hai orang-orang yang berakal).


Menyembelih Dam Tamattu' Sebelum hari Nahr (10 Dzulhijjah) 

Mayoritas jama'ah haji dari tanah air Indonesia menyembelih kambing dam tamattu' mereka sebelum tanggal 10 Dzulhijjah. Apakah sembelihan mereka tersebut sah sebagai dam/hadyu tamattu'?

Mayoritas ulama (madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali) memandang tidak sahnya sembelihan tersebut sebagai dam tamattu', adapun madzhab Syafi'i memandang sahnya dam tamattu' tersebut.

الدِّمَاءُ فِي الْمَنَاسِكِ عَلَى ثَلَاثَةِ أَوْجُهٍ فِي وَجْهٍ يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ عَلَى يَوْمِ النَّحْرِ بِالْإِجْمَاعِ بَعْدَ أَنْ حَصَلَ الذَّبْحُ فِي الْحَرَمِ وَهُوَ دَمُ الْكَفَّارَاتِ وَالنُّذُورِ وَهَدْيُ التَّطَوُّعِ وَفِي وَجْهٍ لَا يَجُوزُ ذَبْحُهُ قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ إجْمَاعًا وَهُوَ دَمُ التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ وَالْأُضْحِيَّةِ وَفِي وَجْهٍ اخْتَلَفُوا فِيهِ وَهُوَ دَمُ الْإِحْصَارِ فَعِنْدَ أَبِي حَنِيفَةَ يَجُوزُ تَقْدِيمُهُ وَعِنْدَهُمَا لَا يَجُوزُ .
وَفِي الْمَبْسُوطِ يَجُوزُ ذَبْحُ هَدْيِ التَّطَوُّعِ قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ إلَّا أَنَّ ذَبْحَهُ يَوْمَ النَّحْرِ أَفْضَلُ قَالَ فِي الْهِدَايَةِ وَهُوَ الصَّحِيحُ


Madzhab Hanafi :
Abu Bakr Al-Haddaad Al-Yamani (wafat 800 H) dari madzhab Hanafi berkata :
"Dam di manasik haji ada tiga bentuk.

Pertama : boleh dimajukan (penyembelihannya) sebelum hari Nahr (10 Dzulhijjah) berdasarkan ijmak ulama jika penyembelihannya dilakukan di tanah haram Mekah. Dam tersebut adalah dam kafarat, dam nadzar, dan hadyu tathowwu' (sunnah).
Kedua : Tidak boleh disembelih sebelum hari Nahr berdasarkan ijmak, yaitu dam tamattu', dan qiron, dan udlhiyah (kurban).
Ketiga : Mereka memperselisihkannya yaitu dam ihshoor (dam yang wajib disembelih tatkala seorang yang haji atau umroh terhalangi sehingga tidak bisa melanjutkan manasiknya-pen). Maka menurut Abu Hanifah boleh disembelih sebelum hari Nahr, dan menurut Abu Yusuf dan Muhammad Asy-Syaibani tidak boleh. Dalam kitab "Al-Mabshuuth" : Dibolehkan menyembelih hadyu tathowwu' sebelum hari Nahr, akan tetapi menyembelihnya pada hari Nahr lebih afdhol. Penulis kitab Al-Hidaayah berkata : "Dan ini adalah pendapat yang benar" (Al-Jauharoh An-Nayyiroh 'Ala Mukhtashor Al-Quduuri 2/222-223. Silahkan lihat juga perkataan Syamsuddin As-Sarokhsi dalam kitab Al-Mabshuuth, cetakan Daarul Ma'rifah Lebanon,  4/109-110)


Madzhab Maliki
Adapun para ulama madzhab Malikyah maka ada dua pendapat di kalangan mereka tentang kapan seseorang yang berhaji tamattu' terkena kewajiban dam tamattu'??

Syamsuddin At-Tharobulsi berkata

وَإِذَا عُلِمَ ذَلِكَ فَتَحَصَّلَ أَنَّ فِي وَقْتِ وُجُوبِهِ طَرِيقَتَيْنِ: إحْدَاهُمَا لِابْنِ رُشْدٍ وَابْنِ الْعَرَبِيِّ وَصَاحِبِ الطِّرَازِ وَابْنِ عَرَفَةَ أَنَّهُ إنَّمَا يَجِبُ بِرَمْيِ جَمْرَةِ الْعَقَبَةِ أَوْ بِخُرُوجِ وَقْتِ الْوُقُوفِ، وَالثَّانِيَةَ لِلَّخْمِيِّ، وَمَنْ تَبِعَهُ: أَنَّهُ يَجِبُ بِإِحْرَامِ الْحَجِّ، وَالطَّرِيقَةُ الْأُولَى: أَظْهَرُ؛ لِأَنَّ ثَمَرَةَ الْوُجُوبِ إنَّمَا تَظْهَرُ فِيمَا إذَا مَاتَ الْمُتَمَتِّعُ

"Jika diketahui demikian maka kesimpulannya tentang wajibnya dam tamatuu' ada dua pendapat:
Pertama adalah pendapat Ibnu Rusyd, Ibnul 'Arobiy, Penulis kita At-Thirooz, dan Ibnu 'Arofah bahwasanya hanyalah wajib jika sang haji telah melempar jamroh 'aqobah (yaitu pagi hari Nahr-pen) atau dengan keluarnya/berakhirnya waktu wuquf di 'Arofah.
Kedua : Pendapat Al-Lakhomiy dan para ulama yang mengikutinya bahwasanya wajibnya tatkala berihom haji.

Pendapat yang pertama lebih utama, karena buah dari khilafnya nampak jika sang haji mutamatti' meninggal…(yaitu meninggal sebelum melempar jamarot 'aqobah, apakah ia tetap wajib membayar dam tamattu'?-pen) (Mawahibul Jalil 3/60-61)

Dari dua pendapat di atas jelas bahwa tidak ada seorang ulama Malikiyahpun yang memandang bolehnya disembelih dam tamattu' setelah umroh. Karena minimal waktu wajibnya dam tamattu' (sebagaimana pendapat Al-Lakhomiy) yaitu tatkala berihrom dengan ihrom haji. Karena itulah bentuk awal penggabungan antara umroh dan haji. (lihat Mawahibul Jalil 3/61). Dan ini bukan berarti jika sang haji telah berihrom haji pada tanggal 8 Dzulhijjah maka serta merta boleh memotong dam tamattu' sebelum hari Nahr. Akan tetapi maksudnya adalah jika dia meninggal sebelum hari Nahr dan setelah berihrom haji maka ia tetap terkena tanggungan hutang untuk menyembelih dam tamattu' yang penyembelihannya tetap dilaksanakan pada hari Nahr.

Syamsuddin At-Tharobulsi berkata :

وَهُوَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَا يُجْزِئُ نَحْرُهُ قَبْلَ ذَلِكَ، وَاَللَّهُ أَعْلَمُ. وَنُصُوصُ أَهْلِ الْمَذْهَبِ شَاهِدَةٌ لِذَلِكَ قَالَ الْقَاضِي عَبْدُ الْوَهَّابِ فِي الْمَعُونَةِ، وَلَا يَجُوزُ نَحْرُ هَدْيِ التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ خِلَافًا لِلشَّافِعِيِّ

"Dan ini menunjukkan bahwasanya tidak sah penyembelihan dam tamattu' sebelum hari Nahr, wallahu A'lam. Dan pernyataan-pernyataan dari para ulama madhab Maliki mendukung akan hal ini. Al-Qoodhi Abdul Wahhab dalam kitab Al-Ma'uunah berakta : Tidak boleh menyembelih dam tamattu' dan qiron sebelum hari Nahr, berbeda dengan pendapat Asy-Syafi'i"  (Mawaahibul Jalil 3/62)


Madzhab Hanbali
Ibnu Qudaamah berkata :

فَأَمَّا وَقْتُ إخْرَاجِهِ فَيَوْمُ النَّحْرِ. وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَأَبُو حَنِيفَةَ؛ لِأَنَّ مَا قَبْلَ يَوْمِ النَّحْرِ لَا يَجُوزُ فِيهِ ذَبْحُ الْأُضْحِيَّةَ، فَلَا يَجُوزُ فِيهِ ذَبْحُ هَدْيِ التَّمَتُّعِ

"Adapun waktu waktu menyembelihnya adalah pada hari Nahr, dan ini adalah pendapat Malik dan Abu Hanifah, karena sebelum hari Nahr tidak boleh menyembelih Udhiyah (kurban), maka tidak boleh menyembelih dam tamattu', (Al-Mughni 3/416)

Al-Mirdaawi berkata :

يَلْزَمُ دَمُ التَّمَتُّعِ وَالْقِرَانِ بِطُلُوعِ فَجْرِ يَوْمِ النَّحْرِ عَلَى الصَّحِيحِ مِنْ الْمَذْهَبِ....
وَأَمَّا وَقْتُ ذَبْحِهِ: فَجَزَمَ فِي الْهِدَايَةِ، وَالْمُذْهَبِ، وَمَسْبُوكِ الذَّهَبِ، وَالْمُسْتَوْعِبِ، وَالْخُلَاصَةِ، وَالْهَادِي، وَالتَّلْخِيصِ، وَالْبُلْغَةِ، وَالرِّعَايَتَيْنِ، وَالْحَاوِيَيْنِ وَغَيْرِهِمْ: أَنَّهُ لَا يَجُوزُ ذَبْحُهُ قَبْلَ وُجُوبِهِ....
وَقَدْ جَزَمَ فِي الْمُحَرَّرِ، وَالنَّظْمِ، وَالْحَاوِي، وَالْفَائِقِ وَغَيْرِهِمْ: أَنَّ وَقْتَ دَمِ الْمُتْعَةِ وَالْقِرَانِ: وَقْتُ ذَبْحِ الْأُضْحِيَّةِ

"Wajib dam tamattu' dan qiron dengan terbitnya fajar hari Nahr, menurut pendapat yang shahih dari madzhab (Hanbali)…

Adapun waktu penyembelihannya, maka dipastikan dalam kitab "al-Hidayah", "al-Mudzhab", "masbuuk Adz-Dzahab", "al-Mustau'ib", "al-Khulaashoh", "al-Haadi", "at-Talkhiish", "al-Bulghoh", kedua kitab "ar-Ri'aayah", kedua kitab "Al-Haawi", dan selainnya, bahwasanya tidak boleh menyembelih dam tamattu' sebelum waktu pengwajibannya"…

Dan telah dipastikan dalam kitab "al-Muharror", "an-Nadzm", "al-Haawi", kitab "al-Faaiq", dan yang lainnya : bahwasanya waktu penyembelihan dam tamattu' dan qiron adalah waktu penyembelihan udhiyah (kurban)…" (Al-Inshoof fi Ma'rifat Ar-Roojih min Al-Khilaaf 3/444-445)


Madzhab Syafi'i :
Adapun ulama madzhab syafi'iyyah maka mereka memandang bolehnya memotong kambing/unta tersebut sebelum tangal 10 Dzulhijjah jika sang haji telah melakukan umroh tamattu'.

Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah berkata :

وَإِذَا سَاقَ الْمُتَمَتِّعُ الْهَدْيَ مَعَهُ أَوْ الْقَارِنُ لِمُتْعَتِهِ أَوْ قِرَانِهِ فَلَوْ تَرَكَهُ حَتَّى يَنْحَرَهُ يَوْمَ النَّحْرِ كَانَ أَحَبَّ إلَيَّ وَإِنْ قَدِمَ فَنَحَرَهُ فِي الْحَرَمِ أَجْزَأَ عَنْهُ

"Jika seorang haji tamattu' membawa hadyu (hewan dam) bersamanya karena mut'ahnya, atau seorang haji qiron membawa hadyu karena qironnya, maka ia membiarkan hadyunya hingga ia baru menyembelihnya tatkala hari nahr maka itu lebih aku sukai. Dan jika ia tiba (sebelum hari Nahr-pen) lalu ia menyembelihnya di tanah haram maka sudah sah" (Al-Umm 2/238)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata :

واحتج به مالك وأبو حنيفة في ان دم التمتع لا يجوز قبل يوم النحر بالقياس على الاضحية. واحتج أصحابنا عليهما بالآية الكريمة ولأنهما وافقا على جواز صوم التمتع قبل يوم النحر أعني صوم الايام الثلاثة فالهدي أولي ولأنه دم جبران فجاز بعد وجوبه وقبل يوم النحر كدم فدية الطيب واللباس وغيرهما يخالف الاضحية لانه منصوص على وقتها والله أعلم

"Malik dan Abu Hanifah berdalil bahwa dam tamattu' tidak boleh disembelih sebelum hari Nahr dengan qiyas terhadap udhiyah (kurban). Dan para ulama syafi'iyyah berdalil membantah mereka berdua (Malik dan Abu Hanifah) dengan ayat yang mulia. Dan juga mereka berdua sepakat akan bolehnya puasa tamattu' –yaitu maksudku puasa tiga hari (bagi yang tidak mendapatkan dam-pen)- sebelum hari Nahr. Maka al-hadyu (dam tamattu') lebih utama untuk boleh disembelih sebelum hari Nahr. Juga karena dam tamattu' adalah dam jubroon (penambal kekurangan-pen) maka boleh disembelih setelah tiba waktu peng-wajibannya (yaitu setelah umroh tamattu'-pen) dan sebelum hari Nahr sebagaimana dam fidyah (karena memakai) minyak wangi, pakaian berjahit, dan selainnya. Hal ini berbeda dengan udhiyah (kurban) karena telah ada nashnya yang menunjukkan akan waktunya yang telah ditentukan pada hari Nahr" (Al-Majmuu' 7/184)

Ayat yang dimaksud oleh An-Nawawi adalah firman Allah :

فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ

"Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat" (QS Al-Baqoroh : 196)

Al-Imam An-Nawawi berkata tentang ayat ini :

أي بسبب العمرة لأنه إنما يتمتع بمحظورات الاحرام بين الحج والعمرة بسبب العمرة

"Yaitu dikarenakan umroh (ia wajib memotong dam tamattu') karena ia bertamattu' (bersenang-senang) dengan melakukan hal-hal yang dilarang dalam ihrom antara haji dan umroh disebabkan umroh tersebut" (Al-Majmuu' 7/184).

Dengan dalil ayat inilah dan pemahaman inilah maka para ulama syafi'iyyah memandang bahwa dam tamattu' adalah seperti dam jubroon.

Ar-Rofi'i rahimahullah berkata ;

فالدماء الواجبة في الاحرام إما لارتكاب محظورات أو جبرا لترك مأمور لا اختصاص لها بزمان بل يجوز في يوم النحر وغيره وانما الضحايا هي التى تختص بيوم النحر وأيام التشريق * وعن أبي حنيفة رحمه الله إن دم القران والتمتع لا يجوز ذبحه قبل يوم النحر * لنا القياس على جزاء الصيد ودم التطيب والحلق

"Maka dam-dam yang wajib dalam ihrom karena melanggar larangan atau sebagai penambal karena meninggalkan yang diperintahkan, maka tidak dikhususkan (waktu penyembelihannya) dengan waktu tertentu. Bahkan boleh disembelih pada hari Nahr dan juga hari-hari yang lain. Yang terkhususkan dengan waktu hari Nahr dan hari-hari Tasyriq hanyalah udhiyah. Dari Abu Hanifah rahimahullah bahwasanya beliau memandang dam qiron dan tamattu' tidak boleh disembelih sebelum hari Nahr. Dan dalil kami (ulama syafi'iyyah) adalah bolehnya dengan mengqiaskan terhadap fidyah berburu dan dam karena memakai minyak wangi dan mencukur" (Al-'Aziiz syarh Al-Wajiiz 8/83)

Al-Imam Ahmad dalam satu riwayat juga membolehkan menyembelih sebelum hari Nahr. Ibnu Qudamah berkata :

وَقَالَ أَبُو طَالِبٍ: سَمِعْت أَحْمَدْ، قَالَ فِي الرَّجُلِ يَدْخُلُ مَكَّةَ فِي شَوَّالٍ وَمَعَهُ هَدْيٌ. قَالَ: يَنْحَرُ بِمَكَّةَ، وَإِنْ قَدِمَ قَبْلَ الْعَشْرِ نَحَرَهُ، لَا يَضِيعُ أَوْ يَمُوتُ أَوْ يُسْرَقُ

"Abu Tolib berkata : "Aku mendengar Ahmad berkata tentang seseorang yang masuk di kota Mekah di bulan Syawwal sambil membawa hadyu : Orang tersebut menyembelih di Mekah. Jika ia datang sebelum 10 hari Dzul hijjah maka ia menyembelihnya hingga tidak hilang hewan hadyunya atau mati atau dicuri" (Al-Mughni 3/416)

Dalil Pembolehan

Kesimpulan dalil dari madzhab Syafi'iyah terangkum pada poin-poin berikut:

Pertama : Firman Allah

فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ

"Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat" (QS Al-Baqoroh : 196)

Al-Imam An-Nawawi berkata tentang ayat ini :

أي بسبب العمرة لأنه إنما يتمتع بمحظورات الاحرام بين الحج والعمرة بسبب العمرة

"Yaitu dikarenakan umroh (ia wajib memotong dam tamattu') karena ia bertamattu' (bersenang-senang) dengan melakukan hal-hal yang dilarang dalam ihrom antara haji dan umroh disebabkan umroh tersebut" (Al-Majmuu' 7/184).

Dan huruf Faa pada firman Allah  (فَـمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ)menunjukan tertib (urutan) dan ta'qiib (langsung), karenanya setelah seseorang selesai umroh ia langsung terkena kewajiban menyembelih dam tamattu', maka diapun boleh menyembelihnya.

Dalam ayat ini juga tidak disebutkan batasan waktu awal bolehnya memotong sembelihan dam tamattu', akan tetapi Allah menjadikan waktunya umum tanpa penentuan waktu tertentu.

Kedua : Orang yang haji tamattu' dan qiron jika tidak mampu untuk mendapatkan sembelihan maka dia menggantinya dengan puasa 3 hari di musim haji dan 7 hari di tanah air. Yaitu firman Allah

(فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ)

"Maka puasa tiga hari di haji" (QS Al-Baqoroh : 196)

Imam Malik dan Abu Hanifah yang melarang menyembelih sebelum hari Nahr ternyata membolehkan puasa tiga hari pengganti tersebut dikerjakan sebelum hari Nahr. Jika pengganti boleh dikerjakan sebelum hari Nahr, maka demikian pula yang digantikan (yaitu dam tamattu') boleh juga dilakukan sebelum hari Nahr.

Ketiga : Dam tamattu' adalah dam jubroon (penambal kekurangan/kesalahan). Karena orang yang haji tamattu' dia boleh melakukan larangan-larangan ihrom setelah umrohnya hingga datang waktu haji. Karenanya diqiaskan dengan fidyah-fidyah kesalahan (seperti fidyah memakai baju berjahit, fidyah mencukur rambut, dan fidyah berburu) yang boleh disembelih sebelum hari Nahr, maka demikian pula dengan dam tamattu".

Keempat : Kemaslahatan-kemaslahatan yang bisa diraih jika disembelih sebelum hari Nahr. Diantaranya, harga hewan sembelihan lebih murah, dan juga lebih bermanfaat bagi kaum fuqoroo' karena daging tersebut bisa didistribusi dengan lebih mudah, dibandingkan jika seluruh daging sembelihan bertumpuk pada hari Nahr, sehingga bisa saja ada daging-daging yang terbuang sia-sia.


Dalil Pelarangan
Adapun kesimpulan dalil dari madzhab mayoritas ulama yang melarang menyembelih sebelum hari Nahr adalah sebagai berikut :

Pertama : Firman Allah :

وَلا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّى يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ

"Dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya" (QS Al-Baqoroh : 196)

Ayat ini menunjukkan bahwa kalau boleh menyembelih hadyu (dam tamattu'/qiron) sebelum hari Nahr, maka boleh pula mencukur kepala sebelum hari Nahr. Padahal ini tidak mungkin dilakukan bagi jama'ah haji. Seluruh jama'ah haji (baik tamattu', qiron, dan ifrod) tidak mungkin bertahallul dari ihrom haji mereka dengan mencukur rambut kecuali tanggal 10 Dzulhijjah (hari Nahr)

Kedua : Firman Allah

فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ (٢٨) ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ

"Maka makanlah sebahagian daripada hewan-hewan ternak tersebut dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka" (QS Al-Hajj : 28-29)

Qodoo at-Tafats (penghilangan kotoran, seperti mencukur dan memotong kuku) hanyalah dilakukan pada hari Nahr, dan penyebutan qodloo at-Tafats datang setelah penyebutan penyembelihan dam dan memakan dari dam tersebut.

Ketiga : Hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam

عن حفصة رضي الله عنهم زوج النبي صلى الله عليه وسلم أنها قالت يا رسول الله ما شأن الناس حلوا بعمرة ولم تحلل أنت من عمرتك قال إني لبدت رأسي وقلدت هديي فلا أحل حتى أنحر

Dari Hafshoh radhiallahu 'anhaa istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya ia berkata, "Wahai Rasulullah, kenapa orang-orang bertahallul (mencukur kepala mereka-pen) dengan umroh sementara engkau tidak bertahallul dari umrohmu?". Nabi berkata, "Aku telah mentalbid rambutku (talbid : meletakan sesuatu/semacam minyak di rambut kepala sehingga rambut tidak menjadi semerawut-pen), dan aku telah membawa hewan dam ku, maka aku tidak akan bertahallul hingga aku menyembelihnya" (HR Al-Bukhari no 1566 dan Muslim no 1229)

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi mengkaitkan tahallul dengan penyembelihan dam. Kalau seandainya penyembelihan dam boleh dilakukan sebelum hari Nahr maka Nabi akan menyembelih dam dan akan bertahallul dan merubah haji qiron beliau menjadi haji tamattu'.

Keempat : Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan puluhan ribu para sahabat tiba di Mekah tanggal 4 Dzulhijjah, lalu seluruh hewan baik onta maupun kambing diikat hingga mereka menunggu tibanya hari tarwiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah. Tentunya puluhan ribu para sahabat tersebut membutuhkan makanan, dan penyediaan makanan untuk puluhan ribu para sahabat tersebut selama 4 hari bukanlah perkara yang mudah. Kalau seandainya memotong hewan dam diperbolehkan sebelum tanggal 10 Dzulhijjah tentu Nabi akan membolehkan menyembelih hewan-hewan tersebut dengan dicicil mengingat kebutuhan penyediaan makanan. Akan tetapi ternyata tidak seekor hewanpun yang disembelih sebelum hari Nahr.

Kelima : Yang benar bahwasanya hewan dam tamattu'/qiron bukanlah dam jubron, akan tetapi adalah dam nusuk sebagai bentuk bersyukur kepada Allah, karena orang yang berhaji tamattu' dan qiron bisa menggabungkan antara haji dan umroh dalam sekali safar. Karenanya hewan-hewan dam Nabi beliau bawa dan giring dari kota Madinah menuju Mekah sebagai bentuk syukur. Jika demikian maka dam tamattu'/qiron lebih kuat untuk diqiyaskan kepada udhiyah (hewan kurban) yang tidak boleh disembelih kecuali hari Nahr, daripada diqiyaskan dengan fidyah pelanggaran yang boleh disembelih sebelum hari Nahr.


Pendapat Yang Terkuat ?
  Sebelumnya kedua kelompok (yang membolehkan dan yang melarang) telah bersepakat bahwa :
- Untuk Udhiyah (hewan kurban) tidak sah jika disembelih sebelum hari Nahr, karena telah datang nas yang tegas dari hadits Nabi shallallahu 'alahi wa sallam yang menyatakan tidak sahnya menyembelih udhiyah sebelum waktunya
- Untuk dam pelanggaran (fidyah) maka boleh disembelih tatkala melakukan pelanggaran meskipun sebelum hari Nahr
- Untuk hadyu (dam tamattu' dan qiron) maka yang terbaik dilaksanakan pada waktu hari Nahr.
- Untuk hadyu yang merupakan hadyu tatowwu' (sunnah) atau hadyu nadzar (yang tidak ditentukan waktu menyembelihnya tatkala bernadzar) maka hukumnya juga adalah sama dengan udhiyah, tidak boleh disembelih sebelum hari Nahr. Dan hal ini juga telah dinyatakan oleh para ulama syafi'iyyah. (lihat Nihaayatul Muhtaaj li Ar-Romly 3/360 dan Tuhfatul Muhtaaj li Ibni Hajr Al-Haitami 4/199)

Letak perbedaan : Hewan hadyu yang merupakan dam wajib bagi orang yang berhaji tamattu' dan qiron, apakah boleh disembelih sebelum hari Nahr??
Dari penjelasan di atas maka sangat nampak bahwasanya permasalahan ini adalah permasalahan khilaf yang sangat kuat diantara para ulama. Hal ini tidaklah terjadi melainkan karena memang tidak ada nash yang tegas dalam permasalahan ini.

- Tidak ada nash tegas dari perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa waktu bolehnya penyembelihan dam tamattu'/qiron adalah hari Nahr
- Demikian juga tidak ada nash tegas dari perkataan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau melarang menyembelih dam tamattu' sebelum hari Nahr
- Adanya kemungkinan bahwa Nabi menyembelih pada hari Nahr karena beliau melakukan yang terbaik, akan tetapi bukan berarti sebelum hari Nahr tidak boleh. Tentunya Nabi selalu melakukan yang terbaik dalam beribadah.
- Demikian juga bahwa fi'il (perbuatan) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak menunjukkan perintah atau larangan.

Meskipun memang diakui tidak ada nash yang tegas dalam hal ini akan tetapi ada qorinah-qorinah (indikasi-indikasi) yang menguatkan pendapat jumhur akan pelarangan menyembelih dam tamattu' sebelum hari Nahr (sebagaimana telah lalu), diantaranya :

Pertama : Tidak diriwayatkan dari seorang sahabatpun yang menyembelih hewan hadyu mereka sebelum hari Nahr
Kedua : Nabi shallallahu 'alahi wa sallam selama 4 hari di Mekah dengan jumlah sahabat yang puluhan ribu (bahkan sebagian ulama menyatakan 100 ribu atau 120 ribu), dan tentunya mereka sangat membutuhkan makanan, akan tetapi tidak diriwayatkan ada seekor kambing atau unta pun yang disembelih.
Ketiga : Hadits Hafshoh –sebagaimana telah lalu- merupakan dalil yang sangat jelas menunjukkan Nabi tidak bisa merubah haji qironnya menjadi tamattu' dengan merubahnya menjadi umroh dahulu lalu bertahallul, dikarenakan Nabi mengkaitkan masalah tahallul (mencukur rambut) dengan penyembelihan hadyu. Dan hadyu tidak bisa disembelih kecuali hari Nahr.

Jika ada yang berkata bahwa 100 ekor unta yang dibawa Nabi ke Mekah telah tercampur antara dam tamattu' (yang wajib) dan hadyu tathowwu' dengan pencampuran yang tidak bisa terpisahkan. Padahal kita sepakat bahwasanya hadyu tathowwu' tidak bisa disembelih kecuali hari Nahr sebagaimana udhiyyah (sebagaiman ini merupakan pendapat Syaikh Abdullah bin Manii' di http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=88761),

Maka kita katakan :

- Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa diantara 100 ekor unta tersebut ada yang selain dam qiron. Karena asalnya Nabi berhaji qiron (sebagaimana dijelaskan oleh An-Nawawi dalam Al-Minhaaj syarh shahih Muslim 8/165) dan wajib bagi beliau untuk menyembelih hadyu. Terserah apakah hadyu tersebut berupa kambing, atau sapi, atau unta, dan terserah apakah seekor ataukah seratus ekor. Adapun perincian bahwa sebagian unta Nabi adalah dam qiron sedangkan sebagian yang lain adalah dam tathowwu' maka butuh dalil.
- Kalaupun tercampur antara dam qiron dan dam tathowwu' maka tentu unta-unta Nabi tersebut bisa dipisahkan dan bisa dibedakan antara dam qiron (yang boleh dipotong sebelum hari Nahr menurut Syafi'iyyah) dan dam tathowwu' yang tidak boleh dipotong kecuali hari Nahr. Adapun pernyataan bahwa dam qiron dan dam tathowwu' sudah bercampur dengan campuran yang tidak bisa dipisahkan, maka ini merupakan persangkaan tanpa dalil, dan juga menyelisihi kenyataan.
- Kalau bisa dibedakan tentunya Nabi akan memotong dam qironnya agar beliau bisa bertahallul dan merubah haji qironnya menjadi haji tamattu'
- Selain itu larangan untuk disembelihnya hadyu berlaku bagi hadyu apapun, apakah yang tathowwu', atau dam qiron dan tamattu

Dalam hadits disebutkan

فأمر النبي صلى الله عليه وسلم أصحابه أن يجعلوها عمرة ويطوفوا ثم يقصروا ويحلوا إلا من كان معه الهدي

"Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabatnya untuk menjadikan haji mereka sebagai umroh dan agar mereka melakukan thowaf lalu mencukur pendek rambut mereka dan bertahallul, kecuali yang membawa hadyu/dam" (HR Al-Bukhari no 1652)

Jika ada yang berkata, "Bisa jadi Nabi mengakhirkan penyembelihan hadyu beliau karena beliau ingin melakukan yang afdhol dan yang terbaik. Akan tetapi hal ini tidak menunjukkan larangan menyembelih sebelum hari Nahr".
Kita katakan, "Justru ada perkara yang terbaik yang dicita-citakan oleh Nabi, yaitu ingin bisa bertahallul dan berhaji tamattu'. Sampai-sampai Nabi berkata :

لَوِ اسْتَقْبَلْتُ مِنْ أَمْرِي مَا اسْتَدْبَرْتُ مَا أَهْدَيْتُ وَلَوْلاَ أَنَّ مَعِيَ الْهَدْيَ لَأَحْلَلْتُ

"Kalau seandainya aku sebelumnya mengetahui apa yang akhirnya terjadi aku tidak akan membawa hadyu, kalau bukan karena aku membawa hadyu maka aku akan bertahallul" (HR Al-Bukhari no 1652)

Dari sini maka penulis lebih condong kepada pendapat jumhur Ulama bahwasanya tidak diperbolehkan menyembelih hadyu (dam tamattu'/qiron) sebelum hari Nahr. Tentunya dengan tetap menghargai pendapat Ulama Syafi'iyyah yang membolehkan penyembelihan sebelum hari Nahr.

Catatan :
Pertama : Bagi para jama'ah haji Indonesia yang memilih pendapat Al-Imam Asy-Syafi'i maka meskipun boleh menyembelih dam mereka sebelum hari Nahr akan tetapi hendaknya mereka mewakilkan penyembelihan tersebut kepada orang yang mereka ketahui amanahnya, mengingat sering terjadinya penipuan dari para penjual kambing. Diantara kasus-kasus penipuan kambing yang pernah diberitahukan kepada penulis (baik yang melaporkan adalah para jama'ah haji atau dari para bekas penjual kambing yang telah bertaubat) adalah sebagai berikut :

- Ternyata tidak ada kambing yang disembelih. Jama'ah haji hanya disuruh menonton kambing-kambing yang dipotong, ternyata itu adalah kambing milik jama'ah lain. Penulis pernah bertemu dengan seorang kepala kloter yang tertipu oleh penjual kambing Indonesia. Tatkala mereka menyaksikan penyembelihan kambing, mereka menyangka itu adalah kambing-kambing mereka, ternyata milik jama'ah dari Iraq??!!
- Atau kambing yang disembelih hanya sebagian tidak semuanya. Biasanya jama'ah diajak untuk menyaksikan pemotongan kambing-kambing mereka, dan pemotongannya menjelang sholat duhur. Tatkala baru dipotong sebagian, maka para jama'ah dianjurkan untuk pulang agar tidak ketinggalan sholat duhur di masjidil haram
- Para jama'ah tidak bisa menyaksikan langsung pemotongan kambing mereka dengan alasan kesehatan
- Atau daging kambing yang telah disembelih ternyata dijual kembali ke restoran-restoran
- Atau kambing yang disembelih terlalu kecil, belum cukup umur.
Hal ini semua semakin menekankan agar para jama'ah haji lebih hati-hati dalam menyerahkan uang dam mereka, serahkanlah hanya kepada orang yang amanah. Dan terkadang uang mereka diserahkan kepada kepala rombongan atau ketua kloter yang amanah, akan tetapi yang jadi permasalahan adalah apakah ketua rombongan dan ketua kloter tersebut membelinya dari orang yang amanah juga??

Kedua : Solusi dari ini semua adalah sebaiknya agar para jama'ah haji lebih tenang, hendaknya mereka membeli dam ke bank Al-Bilad atau bank Ar-Rojhi yang cabang penjualannya berada di bagian belakang masjid Nabawi atau di Masjidil Harom dekat hotel Hilton. (Keterangan selengkapnya ada dibagian bawah artikel ini).

Meskipun harga seekor kambing tahun ini agak mahal (490 real) akan tetapi diantara keuntungan dari membeli lewat bank ini adalah :
- Bank-bank ini telah direkomendasi oleh para ulama Arab Saudi tentang keamanahannya
- Penyembelihan hanya dilakukan setelah masuk hari Nahr
- Sebagian para mahasiswa Universitas Islam Madinah bertugas untuk mengawasi kambing-kambing atau unta-unta yang hendak disembelih agar memenuhi persyaratan penyembelihan
- Daging hewan-hewan tersebut tidak diperjual-belikan dan tidak juga terbuang percuma, akan tetapi dikirim ke negara-negara miskin yang membutuhkan daging-daging tersebut.

Ketiga : Yang wajib bagi para jama'ah haji tamattu' hanyalah menyembelih seekor dam saja. Tidak wajib bagi mereka untuk menyembelih kurban di Mekah, apalagi harus membayar juga dam pelanggaran. Karena sebagian para penjual kambing telah menipu para jama'ah haji dengan perkataan mereka, "Harus beli dam pelanggaran, karena bagaimanapun juga jama'ah haji pasti melakukan pelanggaran".

Adapun hewan kurban, maka hukumnya sunnah, jika seorang haji hendak berkurban maka itu lebih baik, dan bisa dilakukan di tanah harom, atau lebih baik dilakukan di tanah air mengingat kebutuhan masyarakat di tanah air lebih besar terhadap makanan. Dan jika ia tidak berkurban maka sama sekali tidak mengurangi pahala hajinya, dan tidak ada kaitan antara ritual kurban dengan ibadah haji. Karenanya tidak diriwayatkan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tatkala melakukan haji wadaa' beliau juga berkurban untuk diri beliau. Yang ada beliau hanyalah menyembelih 100 ekor unta hadyu/dam untuk beliau.
Wallahu A'lam.

Oleh:
Abu Abdil Muhsin Firanda (di Madinah)

-------------------------------------------------


Mana Yang Lebih Afdhol, Haji Qiran, Ifrad Atau tamattu'?

Ada tiga istilah yang seringkali kita dengar terkait dengan tata cara pelaksanaan ibadah haji, yaitu Qiran (قِرَان), Ifrad (إِفْرَاد) dan Tamattu’ (تَمَتُّع).

Sebenarnya ketiga istilah ini membedakan teknik penggabungan antara ibadah haji dengan ibadah umroh. Kita tidak bisa memahami apa yang dimaksud dengan ketiga istilah ini kalau kita belum memahami arti haji dan umrah.

Persamaan Umrah dan Haji
a.Umroh dan haji sama-sama dikerjakan dalam keadaan berihram.
b.Umroh dan haji sama-sama dikerjakan dengan terlebih dahulu mengambil miqat makani
c.Umroh dan haji sama-sama terdiri dari thowaf yang bentuknya mengelilingi Ka’bah tujuh putaran, disambung dengan sa'i tujuh kali antara Shafa dan Marwah, lalu disambung dengan bercukur atau tahallul. Boleh dibilang ibadah haji adalah ibadah umroh plus beberapa ritual ibadah lainnya.

--> Umroh adalah Haji Kecil

Perbedaan Umrah dan Haji
a.Semua ritual umroh yaitu thowaf, sa'i dan bercukur, cukup hanya dilakukan di dalam masjid Al-Haram. Sedangkan ritual haji adalah terdiri dari ritual umroh ditambah dengan wukuf di Arafah, bermalam di Muzdalifah, melontar Jamarat di Mina sambil bermalam selama disana selama beberapa hari.
b.Umroh bisa dilakukan kapan saja berkali-kali dalam sehari karena durasinya cukup pendek, sedangkan ibadah haji hanya bisa dikerjakan sekali dalam setahun. Inti ibadah haji adalah wuquf di Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah. Dimana durasi ibadah haji sepanjang 5 sampai 6 hari lamanya.

Jadi karena ibadah umroh dan haji punya irisan satu dengan yang lain, atau lebih tepatnya ibadah umroh adalah bagian dari ibadah haji, maka terkadang kedua ibadah itu dilaksanakan sendiri-sendiri, dan terkadang bisa juga dilakukan bersamaan dalam satu ibadah.

Semua itu akan menjadi jelas jika kita bahas satu persatu mengenai istilah Qiran, Ifrad dan Tamattu’.

Haji Qiran
1. Pengertian
a. Bahasa
Istilah qiran (قِرَان) kalau kita perhatikan secara bahasa (etimologi) bermakna :

جَمْعُ شَيْءٍ إِلَى شَيْءٍ

Menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain.

Istilah qiran (قِرَان) oleh orang Arab juga digunakan untuk menyebut tali yang digunakan untuk mengikat dua ekor unta menjadi satu. Ats-Tsa’labi mengatakan :

لاَ يُقَال لِلْحَبْل قِرَانٌ حَتَّى يُقْرَنَ فِيهِ بَعِيرَانِ

Tali tidaklah disebut qiran kecuali bila tali itu mengikat dua ekor unta.

b. Istilah
Dan secara istilah haji, qiran adalah :

أَنْ يُحْرِمَ بِالْعُمْرَةِ وَالْحَجِّ جَمِيعًا

Seseorang berihram untuk umrah sekaligus juga untuk haji

Atau dengan kata lain, Haji Qiran adalah :

أَنْ يُحْرِمَ بِعُمْرَةٍ فِي أَشْهُرِ الْحَجِّ ثُمَّ يُدْخِل الْحَجَّ عَلَيْهَا قَبْل الطَّوَافِ

Seseorang berihram dengan umroh pada bulan-bulan haji, kemudian memasukkan haji ke dalamnya sebelum tawaf

Seseorang bisa dikatakan melaksanakan haji dengan manakala dia melakukan ibadah haji dan umroh digabung dalam satu niat dan gerakan secara bersamaan, sejak mulai dari berihram.

Sehingga ketika memulai dari miqat dan berniat untuk berihram, niatnya adalah niat berhaji dan sekaligus juga niat berumroh. Kedua ibadah yang berbeda, yaitu haji dan umroh, digabung dalam satu praktek amal. Dalam peribahasa kita sering diungkapkan dengan ungkapan, sambil menyelam minum air.

2. Dalil
Menggabungkan antara ibadah haji dengan ibadah umroh dibenarkan oleh Rasulullah SAW berdasarkan hadits berikut ini.

خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ عَامَ حَجَّةِ الْوَدَاعِ فَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِعُمْرَةٍ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِحَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ وَمِنَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ وَأَهَلَّ رَسُولُ اللَّهِ بِالْحَجِّ فَأَمَّا مَنْ أَهَلَّ بِالْحَجِّ أَوْ جَمَعَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لَمْ يَحِلُّوا حَتَّى كَانَ يَوْمُ النَّحْرِ
'Aisyah radliallahu 'anha berkata: "Kami berangkat bersama Nabi SAW pada tahun hajji wada' (perpisahan). Diantara kami ada yang berihram untuk 'umroh, ada yang berihram untuk hajji dan 'umroh dan ada pula yang berihram untuk hajji. Sedangkan Rasulullah SAW berihram untuk hajji. Adapun orang yang berihram untuk hajji atau menggabungkan hajji dan 'umroh maka mereka tidak bertahallul sampai hari nahar (tanggal 10 Dzul Hijjah) ". (HR. Bukhari)

Tentunya karena Qiran itu adalah umroh dan haji sekaligus, maka hanya bisa dikerjakan di dalam waktu-waktu haji, yaitu semenjak masuknya bulan Syawwal.

3. Prinsip Haji Qiran
a. Cukup Satu Pekerjaan Untuk Dua Ibadah
Jumhur ulama termasuk di dalamnya pendapat Ibnu Umar radhiyallahuanhu, Jabir, Atha', Thawus, Mujahid, Ishak, Ibnu Rahawaih, Abu Tsaur dan Ibnul Mundzir, menyebutkan karena Qiran ini adalah ibadah haji sekaligus umroh, maka dalam prakteknya cukup dikerjakan satu ritual saja, tidak perlu dua kali.

Tidak perlu melakukan 2 kali ritual tawaf dan tidak perlu 2 kali melakukan ritual sa'i, juga tidak perlu 2 kali melakukan ritual bercukur. Semua cukup dilakukan satu ritual saja, dan sudah dianggap sebagai dua pekerjaan ibadah sekaligus, yaitu haji dan umroh.

Seperti itulah petunjuk langsung dari Rasulullah SAW lewat hadits Aisyah radhiyallahuanha.

وَأَمَّا الَّذِينَ جَمَعُوا بَيْنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ فَإِنَّمَا طَافُوا طَوَافًا وَاحِدًا

Mereka yang menggabungkan antara haji dan umroh (Qiran) cukup melakukan satu kali thowaf saja. (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan haji qiran itulah yang dilakukan langsung oleh Aisyah radhiyallahuanha. Dan Rasulullah SAW menegaskan untuk cukup melakukan tawaf dan sa'i sekali saja untuk haji dan umroh.

يُجْزِئُ عَنْكِ طَوَافُكِ بِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ عَنْ حَجِّكِ وَعُمْرَتِكِ

Cukup bagimu satu kali tawaf dan sa'i antara Shawa dan Marwah untuk haji dan umrohmu. (HR. Muslim)

Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW sendiri saat berhaji, juga berhaji dengan Haji Qiran.

عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُول اللَّهِ قَرَنَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ فَطَافَ لَهُمَا طَوَافًا وَاحِدًا

Dari Jabir bahwa Rasulullah SAW menggabungkan haji dan umroh, lalu melakukan satu kali tawaf untuk haji dan umroh. (HR. Tirmizy)

Namun ada juga yang berpendapat bahwa haji dalam Qiran, semua ritual ibadah harus dikerjakan sendiri-sendiri. Yang berpendapat seperti ini antara lain Madzhab Hanafiyah, serta Ats-Tsauri, Al-Hasan bin Shalih, dan Abdurrahman bin Al-Aswad.

Maka dalam pandangan mereka ritual thowaf dilakukan dua kali, pertama tawaf untuk haji lalu selesai itu kembali lagi mengerjakan tawaf untuk umroh. Demikian juga dengan sa'i dan juga bercukur, keduanya masing-masing dikerjakan dua kali dua kali, pertama untuk haji dan kedua untuk umroh.

b. Dua Niat : Umroh dan Haji
Yang harus dilakukan hanyalah berniat untuk melakukan dua ibadah sekaligus dalam satu ritual.

Kedua niat itu ditetapkan pada sesaat sebelum memulai ritual berihram di posisi masuk ke miqat makani.

4. Syarat Haji Qiran
Agar Haji Qiran ini sah, maka ada syarat yang harus dipenuhi, antara lain :

Berihrom Haji Sebelum Thawaf Umroh

Seorang yang berhaji dengan cara Qiran harus berihram untuk haji terlebih dahulu sebelumnya, sehingga ketika melakukan tawaf untuk umroh, ihramnya adalah ihram untuk haji dan umroh sekaligus.

Berihrom Haji Sebelum Rusaknya Umroh

Maksudnya seorang Haji Qiran yang datang ke Mekkah dengan melakukan umrah dan berihram dengan ihram umroh, lalu dia ingin menggabungkan ihramnya itu dengan ihram haji, maka sebelum selesai umrohnya itu, dia harus sudah menggabungkannya dengan haji.

Madzhab Hanafiyah menyebutkan bahwa belum selesainya umroh adalah syarat sah buat Haji Qiran.

Madzhab Syafi’iyah menambahkan syarat bahwa ihram itu harus dilakukan setelah masuk bulan-bulan haji, yaitu setidaknya setelah bulan Syawwal.

c. Thowaf Umroh Dalam Bulan Haji
Maksudnya seorang yang Haji Qiran harus menyempurnakan tawaf umrohnya hingga sempurna tujuh putaran, yang dikerjakan di bulan-bulan haji.

d. Menjaga Umroh dan Haji dari Kerusakan
Orang yang berhaji dengan cara Qiran wajib menjaga ihram umroh dan hajinya itu dari kerusakan, hingga sampai ke hari-hari puncak haji.

Dia tidak boleh melepas pakaian ihramnya atau melakukan larangan-larangan dalam berihram. Artinya, sejak tiba di Mekkah maka dia terus menerus berihram sampai selesai semua ritual ibadah haji.

e. Bukan Penduduk Mekkah
Dalam pandangan Madzhab Hanafiyah, Haji Qiran ini tidak berlaku buat mereka yang menjadi penduduk Mekkah, atau setidaknya tinggal atau menetap disana. Haji Qiran hanya berlaku buat mereka yang tinggalnya selain di Mekkah, baik masih warga negara Saudi Arabia atau pun warga negara lainnya.

Sedangkan dalam pendapat Jumhur Ulama, penduduk Mekkah boleh saja berhaji Qiran dan hukum hajinya sah. Hanya bedanya, buat penduduk Mekkah, apabila mereka berHaji Qiran, tidak ada kewajiban untuk menyembelih hewan sebagai dam. Menyembelih hewan ini hanya berlaku buat penduduk selain Mekkah yang berHaji Qiran.

Awal mula perbedaan ini adalah ayat Al-Quran yang ditafsiri dengan berbeda oleh kedua belah pihak.

ذَلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ

Yang demikian itu berlaku bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada di Masjidil Haram. (QS. Al-Baqaroh : 96)

Jumhur ulama mengatakan bahwa kata ’dzalika’ dalam ayat ini adalah kata tunjuk (ism isyarah), yang terkait dengan bagian dari ayat ini juga yang mengharuskan mereka untuk menyembelih hewan.

فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ

Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin bersenang-senang mengerjakan 'umroh sebelum haji, hewan korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali. (QS. Al-Baqaroh : 196)

f. Tidak Boleh Terlewat Haji
Seorang yang berhaji dengan cara Qiran maka dia wajib menyelesaikan ibadah hajinya hingga tuntas, tidak boleh terlewat.


Haji Ifrad
Dari segi bahasa, kata Ifrad adalah bentuk mashdar dari akar kata afrada (أفرد) yang bermakna menjadikan sesuatu itu sendirian, atau memisahkan sesuatu yang bergabung menjadi sendiri-sendiri. Ifrad ini secara bahasa adalah lawan dari dari Qiran yang berarti menggabungkan.

Dalam istilah ibadah haji, Ifrad berarti memisahkan antara ritual ibadah haji dari ibadah umrah. Sehingga ibadah haji yang dikerjakan tidak ada tercampur atau bersamaan dengan ibadah umrah.

Bisa dikatakan, orang yang berhaji dengan cara Ifrad adalah orang yang hanya mengerjakan ibadah haji saja tanpa ibadah umrah.

Kalau orang yang berHaji Ifrad ini melakukan umrah, bisa saja, tetapi setelah selesai semua rangkaian ibadah haji.

1. Tidak Perlu Denda
Haji Ifrad adalah satu-satunya bentuk berhaji yang tidak mewajibkan denda membayar dam dalam bentuk ritual menyembelih kambing. Berbeda dengan Haji Tamattu’ dan Qiran, dimana keduanya mewajibkan dam.

2. Hanya Thawaf Ifadhah
Seorang yang mengerjakan Haji Ifrad hanya melakukan satu thowaf saja, yaitu Thowaf Ifadhah. Sedangkan thowaf lainnya yaitu Qudum dan Wada' tidak diperlukan.


Haji Tamattu’
Istilah Tamattu’ berasal dari al-mata' (المتاع) yang artinya kesenangan. Dalam Al-Quran Allah berfirman :

وَلَكُمْ فِي الأَرْضِ مُسْتَقَرٌّ وَمَتَاعٌ إِلَى حِينٍ

Dan bagi kamu ada tempat kediaman di bumi dan kesenangan hidup sampai waktu yang ditentukan. (QS. Al-Baqarah : 36)

Dan kata tamattu’ artinya bersenang-senang, sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran :

فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ

Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin bersenang-senang mengerjakan 'umroh sebelum haji, hewan korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali. (QS. Al-Baqarah : 196)

Dalam prakteknya, Haji Tamattu’ itu adalah berangkat ke tanah suci di dalam bulan haji, lalu berihram dari miqat dengan niat melakukan ibadah umroh, bukan haji, lalu sesampai di Mekkah, menyelesaikan ihram dan berdiam di kota Mekkah bersenang-senang, sambil menunggu datangnya hari Arafah untuk kemudian melakukan ritual haji.

Jadi Haji Tamattu’ itu memisahkan antara ritual umrah dan ritual haji.

1. Perbedaan Antara Tamattu' dan Ifrad
Kemudian apa dan dimana letak perbedaan antara Tamattu’ dan Ifrad? Bukankah Haji Ifrod itu juga memisahkan haji dan umrah?

Sekilas antara Tamattu’ dan Ifrad memang agak sama, yaitu sama-sama memisahkan antara ritual haji dan umrah. Tetapi sesungguhnya keduanya amat berbeda.

Dalam Haji Tamattu’, jamaah haji melakukan umrah dan haji, hanya urutannya mengerjakan umrah dulu baru haji, dimana di antara keduanya bersenang-senang karena tidak terikat dengan aturan berihram.

Sedang Haji Ifrad, jamaah haji melakukan ibadah haji saja, tidak mengerjakan umrah. Selesai mengerjakan ritual haji sudah bisa langsung pulang. Walau pun seandainya setelah selesai semua ritual haji lalu ingin mengisi kekosongan dengan mengerjakan ritual umrah, boleh-boleh saja, tetapi syaratnya asalkan setelah semua ritual haji selesai.

2. Kenapa Disebut Tamattu’?
Karena dalam prakteknya, dibandingkan dengan Haji Qiran dan Ifrad, Haji Tamattu’ memang ringan dikerjakan, karena itulah diistilahkan dengan bersenang-senang.

Apanya yang senang-senang?
Ketika jamaah haji menjalani Haji Ifrad, maka sejak dia berihram dari miqat sampai selesai semua ritual ibadah haji, mereka tetap harus selalu dalam keadaan berihrom (memakai pakaian ihrom)

Padahal berihrom itu ada banyak pantangannya, kita dilarang mengerjakan semua larangan ihram. Artinya, kita tidak boleh melakukan ini dan tidak boleh itu, jumlahnya banyak sekali.

Dan khusus buat laki-laki, tentunya sangat tidak nyaman dalam waktu berhari-hari bahkan bisa jadi berminggu-minggu hanya berpakaian dua lembar handuk, tanpa pakaian dalam. Dan lebih tersiksa lagi bila musim haji jatuh di musim dingin yang menusuk, maka jamaah haji harus melawan hawa dingin hanya dengan dua lembar kain sebagai pakaian.

Mungkin bila jamaah haji tiba di tanah suci pada hari-hari menjelang tanggal 9 Dzulhijjah, tidak akan terasa lama bertahan dengan kondisi berihram. Tetapi seandainya jamaah itu ikut rombongan gelombang pertama, dimana jamaah sudah sampai di Mekkah dalam jarak satu bulan dari hari Arafah, tentu sebuah penantian yang teramat lama, khususnya dalam keadaan berihram.

Maka jalan keluarnya yang paling ringan adalah melakukan Haji Tamattu’, karena selama masa menunggu itu tidak perlu berada dalam keadaan ihram. Sejak tiba di Kota Mekkah, begitu selesai tawaf, sa’i dan bercukur, sudah bisa menghentikan ihram, lepas pakaian yang hanya dua lembar handuk, boleh melakukan banyak hal termasuk melakukan hubungan suami istri.

Meski harus menunggu sampai sebulan lamanya di kota Mekkah, tentu tidak mengapa karena tidak dalam keadaan ihram. Karena itulah haji ini disebut dengan Haji Tamattu’ yang artinya bersenang-senang.

3. Denda Tamattu’
Di dalam Al-Quran Allah SWT menegaskan bahwa Haji Tamattu’ itu mewajibkan pelakunya membayar denda. Istilah yang sering digunakan adalah membayar dam. Kata dam (الدم) artinya darah, dalam hal ini maksudnya membayar denda dengan cara menyembelih seekor kambing.

Bila tidak mau atau tidak mampu, boleh diganti dengan berpuasa 10 hari, dengan rincian 3 hari dikerjakan selama berhaji dan 7 hari setelah pulang ke tanah air.

فَإِذَا أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ذَلِكَ لِمَن لَّمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ اللّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Apabila kamu telah aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umroh sebelum haji, korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan, maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh yang sempurna. Demikian itu bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada Masjidil Haram. Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya. (QS. Al-Baqarah : 196)

Bab: Mana Yang Lebih Utama?
Setelah membahas panjang lebar tentang tiga jenis cara berhaji, yaitu Qiran, Ifrad dan Tamattu’, maka timbul pertanyaan sekarang, yaitu mana dari ketiganya yang lebih afdhol dalam pandangan ulama dan mana yang lebih utama untuk dipilih?

Ternyata ketika sampai pada pertanyaan seperti itu, para ulama masih berbeda pendapat dan tidak kompak. Masing-masing memilih pilihan yang menurut mereka lebih utama, tetapi ternyata pilihan mereka berbeda-beda.

>Lebih Utama Ifrad
Madzhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa yang lebih utama adalah haji dengan cara Ifrad. Pendapat mereka ini juga didukung oleh pendapat Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Al-Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar, Jabir bin Abdillah ridwanullahialahim ajma’in. Selain itu juga didukung oleh pendapat dari Al-Auza’i dan Abu Tsaur.

Dasarnya menurut mereka antara lain karena Haji Ifrad ini lebih berat untuk dikerjakan, maka jadinya lebih utama. Selain itu dalam pandangan mereka, haji yang Rasulullah SAW kerjakan adalah Haji Ifrad.

>Lebih Utama Qiran
Madzhab Hanafiyah berpendapat bahwa yang lebih utama untuk dikerjakan adalah Haji Qiran. Pendapat ini juga didukung oleh pendapat ulama lainnya seperti Sufyan Ats-Tsauri, Al-Muzani dari kalangan ulama Madzhab Syafi’iyah, Ibnul Mundzir, dan juga Abu Ishaq Al-Marwadzi.

Dalil yang mendasari pendapat mereka adalah hadits berikut ini :

أَتَانِي اللَّيْلَةَ آتٍ مِنْ رَبِّي فَقَال : صَل فِي هَذَا الْوَادِي الْمُبَارَكِ وَقُل : عُمْرَةٌ فِي حَجَّةٍ

Telah diutus kepadaku utusan dari Tuhanku pada suatu malam dan utusan itu berkata,”Shalatlah di lembah yang diberkahi ini dan katakan,”Umrah di dalam Haji”. (HR. Bukhari)

Hadits ini menegaskan bahwa awalnya Rasulullah SAW berhaji dengan cara Ifrad, namun setelah turun perintah ini, maka beliau diminta berbalik langkah, untuk menjadi Haji Qiran.

Dan adanya perintah untuk mengubah dari Ifrad menjadi Qiran tentu karena Qiran lebih utama, setidaknya itulah dasar argumen para pendukung pendapat ini.

>Lebih Utama Tamattu’
Madzhab Hanabilah berpendapat bahwa yang paling baik dan paling utama untuk dikerjakan justru Haji Tamattu’. Setelah itu baru Haji Ifrad dan terakhir adalah Haji Qiran.

Di antara para shahabat yang diriwayatkan berpendapat bahwa Haji Tamattu’ lebih utama antara lain adalah Ibnu Umar, Ibnu Al-Abbas, Ibnu Az-Zubair, Aisyah ridhwanullahi’alaihim. Sedangkan dari kalangan para ulama berikutnya antara lain Al-Hasan, ’Atha’, Thawus, Mujahid, Jabir bin Zaid, Al-Qasim, Salim, dan Ikrimah.

Pendapat ini sesungguhnya adalah satu versi dari dua versi pendapat Madzhab Syafi’i. Artinya, pendapat Madzhab Syafi’i dalam hal ini terpecah, sebagian mendukung Qiran dan sebagian mendukung Tamattu’.

Di antara dasar argumen untuk memilih Haji Tamattu’ lebih utama antara lain karena cara ini yang paling ringan dan memudahkan buat jamaah haji.

Maka timbul pertanyaan yang menarik, kenapa untuk menetapkan mana yang lebih afdhal saja, para ulama masih berbeda pendapat? Apakah tidak ada dalil yang qath’i atau tegas tentang hal ini?

Jawabannya memang perbedaan pendapat itu dipicu oleh karena tidak ada nash yang secara langsung menyebutkan tentang mana yang lebih utama, baik dalil Quran mau pun dalil Sunnah. Sehingga tetap saja menyisakan ruang untuk berbeda pendapat.

Dan hal itu diperparah lagi dengan kenyataan bahwa tidak ada hadits yang secara tegas menyebutkan bahwa Rasulullah SAW berhaji dengan Ifrad, Qiran atau Tamattu’. Kalau pun ada yang bilang bahwa beliau SAW berhaji Ifrad, Qiran atau Tamattu’, sebenarnya bukan berdasarkan teks hadits itu sendiri, melainkan merupakan kesimpulan yang datang dari versi penafsiran masing-masing ulama saja. Dan tentu saja semua kesimpulan itu masih bisa diperdebatkan.

Walhasil, buat kita yang awam, sebenarnya tidak perlu ikut-ikutan perdebatan yang nyaris tidak ada manfaatnya ini, apalagi kalau diiringi dengan sikap yang kurang baik, seperti merendahkan, mencemooh, menghina bahkan saling meledek dengan dasar yang masih merupakan perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Sikap yang paling elegan adalah menerima kenyataan bahwa semuanya bisa saja menjadi lebih afdhal bagi masing-masing orang dengan masing-masing keadaan dan kondisi yang boleh jadi tiap orang pasti punya perbedaan.

Sikap saling menghormati dan saling menghagai justru menjadi ciri khas para ulama, meski mereka saling berbeda pandangan. Kalau sesama para ulama masih bisa saling menghargai, kenapa kita yang bukan ulama malah merasa paling pintar untuk sebuah masalah yang memang halal dan diperbolehkan bagi kita berbeda pendapat di dalamnya?

Dari berbagai sumber

--------------------------------

BEBERAPA KESALAHAN YANG DILAKUKAN OLEH SEBAGIAN JAMAAH HAJI

Pertama : Beberapa Kesalahan Dalam Ihram
Melewati miqat dari tempatnya tanpa berihram dari miqat tersebut, sehingga sampai di Jeddah atau tempat lain di daerah miqat, kemudian melakukan ihram dari tempat itu. Hal ini menyalahi perintah Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengharuskan setiap jama’ah haji agar berihram dari miqat yang dilaluinya.

Maka bagi yang melakukan hal tersebut, agar kembali ke miqat yang dilaluinya tadi, dan berihram dari miqat itu kalau memang memungkinkan. Jika tidak mungkin, maka ia wajib membayar fidyah dengan menyembelih binatang kurban di Mekkah dan memberikan keseluruhannya kepada orang-orang fakir. Ketentuan tersebut berlaku bagi yang datang lewat udara, darat maupun laut.

Jika tidak melintasi salah satu dari kelima miqat yang sudah maklum itu, maka ia dapat berihram dari tempat yang sejajar dengan miqat pertama yang dilaluinya.

Kedua : Beberapa Kesalahan Dalam Tawaf
1. Memulai tawaf sebelum Hajar Aswad, sedang yang wajib haruslah dimulai dari Hajar Aswad.

2. Tawaf didalam Hijr Ismail. Karena yang demikian itu berarti ia tidak mengelilingi seluruh Ka’bah, tapi hanya sebagiannya saja, karena Hijir Ismail itu termasuk Ka’bah. Maka dengan demikian Tawafnya tidak sah (batal).

3. Berjalan cepat pada seluruh putaran yang tujuh. Padahal berjalan cepat itu hanya dilakukan pada tiga putaran pertama, dan itupun tertentu dalam tawaf Qudum saja.

4. Berdesak-desakan untuk dapat mencium Hajar Aswad, dan kadang-kadang sampai pukul-memukul dan saling mencaci-maki. Hal itu tidak boleh, karena dapat menyakiti sesama muslim disamping memaki dan memukul antar sesama muslim itu dilarang kecuali dengan jalan yang dibenarkan oleh Agama. Tidak mencium Hajar Aswad sebenarnya tidak membatalkan Tawaf, bahkan Tawafnya tetap dinilai sah sekalipun tidak menciumnya. Maka cukuplah dengan berisyarat (mengacungkan tangan) dan bertakbir disaat berada sejajar dengan Hajar Aswad, walaupun dari jauh.

5. Mengusap-ngusap Hajar Aswad dengan maksud untuk mendapatkan barakah dari batu itu. Hal ini adalah bid’ah, tidak mempunyai dasar sama sekali dalam syari’at Islam. Sedang menurut tuntunan Rasulullah cukup dengan menjamah dan menciumnya saja, itupun kalau memungkinkan.

6. Menjamah seluruh pojok Ka’bah, bahkan kadang-kadang menjamah dan mengusap-ngusap seluruh dindingnya. Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menjamah bagian-bagian Ka’bah kecuali Hajar Aswad dan Rukun Yamani saja.

7. Menentukan do’a khusus untuk setiap putaran dalam tawaf. Karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun yang beliau lakukan setiap melewati Hajar Aswad adalah bertakbir dan pada setiap akhir putaran antara Hajar Aswad dan rukun Yamani beliau membaca :” Rabbanaa aatinaa fi-d-dunyaa hasanah wa fil akhirati hasanah wa qinaa ‘adzaa ba-n-naar” Artinya : Wahai Tuhan kami, berilah kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari siksaan api neraka”.

8. Mengeraskan suara pada waktu Tawaf sebagaimana dilakukan oleh sebagian jama’ah atau para Mutawwif, yang dapat mengganggu orang lain yang juga melekukan tawaf.

9. Berdesak-desakan untuk melakukan shalat di dekat Maqam Ibrahim. Hal ini menyalahi sunnah, disamping mengganggu orang-orang yang sedang Tawaf. Maka cukup melakukan shalat dua raka’at Tawaf itu di tempat lain didalam Masjid Haram

Ketiga : Beberapa Kesalahan Dalam Sa’i.
1. Ada sebagian jama’ah haji, ketika naik ke atas Safa dan Marwah, mereka menghadap Ka’bah dan mengangkat tangan ke arahnya sewaktu membaca takbir, seolah-olah mereka bertakbir untuk shalat. Hal ini keliru, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua telapak tangan beliau yang mulia hanyalah di saat berdo’a. Di bukit itu, cukuplah membaca tahmid dan takbir serta berdo’a kepada Allah sesuka hati sambil menghadap Kiblat. Dan lebih utama lagi membaca dzikir yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, saat beliau di bukit Safa dan marwah.

2. Berjalan cepat pada waktu Sa’i antara Safa dan Marwah pada seluruh putaran. Padahal menurut sunnah Rasul, berjalan cepat itu hanyalah dilakukan antara kedua tanda hijau saja, adapaun yang lain cukup dengan berjalan biasa.

Keempat : Beberapa Kesalahan di Arafah
1. Ada sebagian jama’ah haji yang berhenti di luar batas Arafah dan tetap tinggal di tempat tersebut hingga terbenam matahari. Kemudian mereka berangkat ke Muzdalifah tanpa berwuquf di Arafah. Ini suatu kesalahan besar, yang mengakibatkan mereka tidak mendapatkan arti haji. Karena sesungguhnya haji itu ialah wuquf di Arafah, untuk itu mereka wajib berada di dalam batas Arafah, bukan diluarnya. Maka hendaklah mereka selalu memperhatikan hal wuquf ini dan berusaha untuk berada dalam batas Arafah. Jika mendapatkan kesulitan, hendaklah mereka memasuki Arafah sebelum terbenam matahari, dan terus menetap disana hingga terbenam matahari. Dan cukup bagi mereka masuk Arafah di waktu malam khususnya pada malam hari raya kurban.

2. Ada sebagian mereka yang pergi meninggalkan Arafah sebelum terbenam matahari. Ini tidak boleh, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melakukan wuquf di Arafah sampai matahari terbenam dengan sempurna.
Berdesak-desakan untuk dapat naik ke atas gunung Arafah dan sampai ke puncaknya, yang dapat menimbulkan banyak mudarat. Sedangkan seluruh padang Arafah adalah tempat berwuquf, dan naik ke atas gunung Arafah tidak disyari’atkan, begitu juga shalat di tempat itu.

3. Ada sebagian jama’ah haji yang menghadap ke arah gunung Arafah ketika berdo’a. Sedang menurut sunnah, adalah menghadap Kiblat.

4. Ada sebagian jama’ah haji membikin gundukan pasir dan batu kerikil pada hari Arafah di tempat-tempat tertentu. Ini suatu perbuatan yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam syari’at Allah.

Kelima : Beberapa Kesalahan di Muzdalifah
Sebagian jama’ah haji, di saat pertama tiba di Muzdalifah, sibuk dengan memungut batu kerikil sebelum melaksanakan shalat Maghrib dan Isya dan mereka berkeyakinan bahwa batu-batu kerikil pelempar Jamrah itu harus diambil dari Muzdalifah.

Yang benar, adalah dibolehkannya mengambil batu-batu itu dari seluruh tempat di Tanah Haram. Sebab keterangan yang benar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau tak pernah menyuruh agar dipungutkan untuk beliau batu-batu pelempar Jamrah Aqabah itu dari Muzdalifah. Hanya saja beliau pernah dipungutkan untuknya batu-batu itu diwaktu pagi ketika meninggalkan Muzdalifah setelah masuk Mina

Ada pula sebagian mereka yang mencuci batu-batu itu dengan air, padahal inipun tidak disyari’atkan.

Keenam : Beberapa Kesalahan Ketika Melempar Jamrah
1. Ketika melempar Jamrah, ada sebagian jama’ah haji yang beranggapan, bahwa mereka itu adalah melempar syaithan. Mereka melemparnya dengan penuh kemarahan disertai dengan caci maki terhadapnya. Padahal melempar Jamrah itu hanyalah semata-mata disyari’atkan untuk melaksanakan dzikir kepada Allah.

2. Sebagian mereka melempar Jamrah dengan batu besar, atau dengan sepatu, atau dengan kayu. Perbuatan ini adalah berlebih-lebihan dalam masalah agama, yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang disyariatkan dalam melemparnya hanyalah dengan batu-batu kecil sebesar kotoran kambing.

3. Berdesak-desakan dan pukul-memukul didekat tempat-tempat Jamrah untuk dapat melempar. Sedang yang disyari’atkan adalah agar melempar dengan tenang dan hati-hati, dan berusaha semampu mungkin tanpa menyakiti orang lain.

4. Melemparkan batu-batu tersebut seluruhnya sekaligus. Yang demikian itu hanya dihitung satu batu saja, menurut pendapat para Ulama. Dan yang disyariatkan, adalah melemparkan batu satu persatu sambil bertakbir pada setiap lemparan.

5. Mewakilkan untuk melempar, sedangkan ia sendiri mampu, karena menghindari kesulitan dan desak-desakan. Padahal mewakilkan untuk melempar itu hanya dibolehkan jika ia sendiri tidak mampu, karena sakit atau semacamnya.

Ketujuh : Beberapa Kesalahan Dalam Tawaf Wada’.
1. Sebagian jamaah haji meninggalkan Mina pada hari Nafar (tgl. 12 atau 13 Dzu-l-Hijjah) sebelum melempar Jamrah, dan langsung melakukan Tawaf Wada’, kemudian kembali ke Mina untuk melempar Jamrah. Setelah itu, mereka langsung pergi dari sana menuju negara masing-masing ; dengan demikian akhir perjumpaan mereka adalah dengan tempat-tempat Jamrah, bukan dengan Baitullah. Padahal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Artinya : Janganlah sekali-kali seseorang meninggalkan Mekkah, sebelum mengakhiri perjumpaannya (dengan melakukan Tawaf) di Baitullah”. Maka dari itu, Tawaf Wada wajib dilakukan setelah selesai dari seluruh amalan haji, dan langsung beberapa saat sebelum bertolak. Setelah melakukan Tawaf Wada’ hendaknya jangan menetap di Mekkah, kecuali untuk sedikit keperluan.

2. Seusai melakukan Tawaf Wada’, sebagian mereka keluar dari Masjid dengan berjalan mundur sambil menghadapkan muka ke Ka’bah, karena mereka mengira bahwa yang sedemikian itu adalah merupakan penghormatan terhadap Ka’bah. Perbuatan ini adalah bid’ah, tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama.

3. Saat sampai di pintu Masjid Haram, setelah melakuan Tawaf Wada’, ada sebagian mereka yang berpaling ke Ka’bah dan mengucapkan berbagai do’a seakan-akan mereka mengucapkan selamat tinggal kepada Ka’bah. Ini pun bid’ah, tidak disyari’atkan.

Kedelapan : Beberapa Kesalahan Ketika Ziarah ke Masjid Nabawi
1. Mengusap-ngusap dinding dan tiang-tiang besi ketika menziarahi kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengikatkan benang-benang atau semacamnya pada jendela-jendela untuk mendapatkan berkah. Sedangkan keberkahan hanyalah terdapat dalam hal-hal yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan dalam bid’ah.

2. Pergi ke gua-gua di Gunung Uhud, begitu juga ke Gua Hira dan Gua Tsur di Mekkah, dan mengikatkan potongan-potongan kain di tempat tempat itu, disamping membaca berbagai do’a yang tidak diperkenankan oleh Allah, serta bersusah payah untuk melakukan hal-hal tersebut. Kesemuanya ini adalah bid’ah, tidak ada dasarnya sama sekali dalam Syari’at Islam yang suci ini.

3. Menziarahi beberapa tempat yang dianggapnya sebagai tanda peninggalan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, seperti tempat mendekamnya unta Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sumur khatam mupun sumur Usman, dan mengambil pasir dari tempat-tempat ini dengan mengharapkan barakah.

4. Memohon kepada orang-orang yang telah mati ketika berziarah ke pekuburan Baqi’ dan Syhadah Uhud, serta melemparkan uang ke pekuburan itu demi mendekatkan diri dan mengharapkan barakah dari penghuninya. Ini adalah termasuk kesalahan besar, bahkan termasuk perbuatan syirik yang terbesar, menurut pendapat para Ulama, berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena sesungguhnya ibadah itu hanyalah ditujukan kepada Allah semata, tidak boleh sama sekali mengalihkan tujuan ibadah selain kepada Allah, seperti dalam berdo’a, menyembelih kurban, bernadzar dan jenis ibadah lainnya, karena firman Allah :

وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ

“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama”.[al-Bayinah/98 :5]

Dan firman-Nya :

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَدًا

“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun disamping menyembah Allah”.[al-Jinn/72: 18]

Kita memohon kepada Allah, semoga Ia memperbaiki keadaan ummat Islam ini dan memberi mereka kefahaman dalam agama serta melindungi kita dan seluruh ummat Islam dari fitnah-fitnah yang menyesatkan. Sesungguhnya Ia Maha Mendengar dan Mengabulkan do’a hamba-Nya.

[Disalin dari buku Petunjuk Jama’ah Haji dan Umrah serta Penziarah Masjid Rasulu Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Pengarang Kumpulan Ulama, hal 31-37, diterbitkan dan diedarkan oleh Departement Agama dan Waqaf Dakwah dan Bimbingan Islam, Saudi Arabia]

BAB TANYA-JAWAB

MABIT (BERMALAM) DI MINA, MABIT DI LUAR MINA SEBAB PENUH SESAK
Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika jama’ah haji tidak mendapatkan tempat untuk bermalam di Mina, apa yang harus dilakukan ? Dan apakah dia harus membayar kifarat jika dia bermalam di luar Mina ?
Jawaban:
Jika jama’ah haji telah bekerja keras dalam mencari tempat di Mina untuk bermalam selama di Mina lalu tidak mendapatkannya maka tiada dosa atas dia jika singgah di luar Mina. Sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu [At-Thagabun : 16]

Dan dia juga tidak wajib membayar kifarat. Sebab dia meninggalkan mabit di Mina karena di luar kemampuan.

BERMALAM DI LUAR MINA KARENA TIDAK TAHU
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Seseorang bermalam (dua malam) dekat sekali dari Mina dan mengira telah bermalam di Mina. Tapi setelah itu nampak baginya bahwa tempat tersebut dekat dengan Mina dan bukan Mina. Dia mengetahui hal tersebut baru-baru ini setelah haji tahun lalu. Apa yang harus dia lakukan sekarang ?
Jawaban:
Ia wajib kifarat, yaitu menyembelih kurban di Mekkah dan dibagikan kepada orang-orang miskin di Mekkah. Sebab dia meninggalkan kewajiban dalam haji tanpa alasan syar’i. Seharusnya ketika itu dia bertanya tentang Mina sehingga dapat bermalam di Mina. Adapun orang yang mencari tempat di Mina, lalu tidak mampu mabit di Mina maka dia tidak wajib kifarat. Sebab Allah berfirman.

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسْتَطَعْتُمْ
Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu [At-Taghabun : 16]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.

لاَ يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya [Al-Baqarah : 286]

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. “Artinya : Jika aku perintahkan kepadamu suatu perkara, maka lakukan dia menurut kemampuanmu” [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Namun dikecualikan dari hal tersebut bagi orang yang berhalangan menurut syar’i sehingga dia tidak bermalam di Mina, seperti orang sakit, pengembala, dan pengambil air, Maka mereka tidak wajib membayar kifarat. Dan kepada Allah kita mohon pertolongan kebenaran.

YANG UTAMA DALAM MABIT DI MINA
Pertanyaan:
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Dengan pertolongan Allah saya dapat haji bersama istri. Tapi pada hari-hari tasyriq kami berdua tidak duduk di Mina melainkan sampai jam satu malam, kemudian kami pergi dan bermalam di Mekkah karena kami mempunyai rumah di sana. Apakah demikian itu boleh ?. Mohon penjelasan, semoga Allah memberikan balasan kebaikan kepada Anda.
Jawaban:
Mabit di Mina sudah cukup bila lebih setengah malam, dan segala puji hanya bagi Allah. Untuk itu, kalian berdua tidak harus membayar kifarat. Tapi jika kalian tetap di Mina semalaman penuh selama hari-hari melontar maka demikian itu adalah yang utama karena mengikuti sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya, semoga Allah meridhoi mereka. Dan kepada Allah kita mohon pertolongan kepada kebenaran

TIDAK MENDAPATKAN TEMPAT DI MINA
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana hukum jama’ah haji yang tidak mendapatkan tempat di Mina pada hari-hari tasyriq, baik siang maupun malam ?
Jawaban:
Jika mereka tidak mendapatkan tempat di Mina maka mereka bertempat di akhir kemah orang-orang yang haji walaupun di luar batas Mina. Sebab Allah berfirman. “Artinya : Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kemampuanmu” [At-Thagabun : 16]  (lihat pada Bab Tanya-Jawab Sebelumnya)

BERMALAM DI LUAR MINA KARENA TIDAK TAHU
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Saya haji bersama keluarga pada tahun ini dan kami bermalam tiga hari di Mina, karena banyaknya orang yang haji, maka kami berpendapat untuk keluar dari Mina setelah hari kedua. Mohon penjelasan, apa dampak hal tersebut atas saya ?
Jawaban:
Jika seseorang tidak mendapatkan tempat, maka anda tiada dosa. Tapi jika medapatkan tempat namun karena ceroboh, maka harus bertaubat kepada Allah. Jika kamu tidak bermalam di Mina dalam setiap malam, maka ulama mengatakan bahwa wajib membayar fidyah (menyembelih kurban) yang dibagikan kepada orangn-orang miskin di Mekkah. Dan jika anda tidak bermalam di Mina pada malam pertama tapi bermalam pada malam kedua, maka kamu wajib memberi makan orang miskin.

SYARAT BERMALAM DI MINA
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum orang yang bermalam di Mina sampai jam 12 malam kemudian masuk ke Mekkah dan tidak kembali hingga terbit fajar?
Jawaban:
Jika jam 12 malam adalah pertengahan malam di Mina maka tidak mengapa bila sesorang keluar darinya setelah jam tersebut. Meskipun yang utama adalah selalu di Mina siang dan malam. tapi jika jam 12 malam belum pertengahan malam maka belum boleh keluar darinya. Sebab dalam bermalam di Mina disyaratkan harus sebagian besar malam (lebih setengah malam) sebagaimana disebutkan ulama fikih kita, semoga Allah memberikan rahmat kepada mereka

[Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, hal 194 – 196, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]


MELEMPAR JUMROH SEBELUM WAKTU ZAWAL PADA HARI TASYRIQ
Pertanyaan:
Dalam pelaksanaannya karena mengingat kondisi jama’ah yang begitu padat, jama’ah kita mengambil pelemparan jumroh ini sebelum waktunya. Padahal yang diperintahkan adalah melempar jumroh dilakukan setelah waktu zawal (setelah matahari tergelincir ke barat). Lalu bagaimana jika dilakukan sebelum zawal?
Jawaban:
Hal ini diperselisihkan oleh para ulama. Mayoritas ulama tidak membolehkan hal ini. Sebagian yang lain membolehkannya terkhusus jika ada hajat seperti padatnya jama’ah.
Berbagai pendapat ulama dalam hal ini.
Mayoritasnya mengatakan tidak bolehnya. Inilah pendapat Imam Ahmad, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Abu Hanifah serta kebanyakan ulama lainya.
Sebagian ulama menganggap bolehnya melempar sebelum zawal pada hari nafar (hari kepulangan dari Mina). Inilah salah satu pendapat Imam Ahmad, Imam Abu Hanifah dan Ishaq. Ada murid Abu Hanifah yang menyelisihi perkataan gurunya dan berpendapat tidak bolehnya. Yang berpendapat bolehnya, berdalil dengan hadits riwayat Al Baihaqi dari Ibnu ‘Abbas: Jika siang telah tiba dari hari tasyriq, maka boleh untuk melempar jumrah. Namun hadits ini tidak shahih.
Sebagian ulama membolehkan melempar jumroh sebelum zawal pada tiga hari tasyriq seluruhnya. Yang berpendapat demikian adalah ‘Atho’ bin Abi Robaah, Thowus bin Kaisan, Imam Al Haromain, Abul Fath Al Ar’inaaniy sebagaimana disebutkan oleh Asy Syaasyi dan Ar Rofi’i dan Ibnul Jauzi. Dan juga pendapat ini dipegang oleh Ibnu Az Zaghuniy dari ulama Hambali.
Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Abbas, akan tetapi tidak tegas menjelaskan masalah melempar jumroh pada hari tasyriq. Al Hafzh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab mushonnafnya dengan sanad shahih dari Muslim. Dari Ibnu Abi Mulaikah, ia berkata, “Aku melihat Ibnu ‘Abbas melempar jumroh sebelum waktu zawal“.
Dan itu pun tidak tegas dari Ibnu ‘Abbas, perkataan di atas masih umum. Bisa jadi maknanya adalah jumroh aqobah dan jika waktunya sebelum zawal maka itu disepakati oleh para ulama.
Diriwayatkan oleh Al Fakihiy dalam ‘Akhbar Makkah’ dengan sanad shahih dari Ibnu Az Zubair, bahwa beliau membolehkan melempar jumroh sebelum zawal pada hari tasyriq. Dan hal ini dikatakan pula oleh ‘Atho’ bahwa beliau mengaitkannya dengan kejahilan.
Yang tepat dalam masalah ini, bolehnya melempar jumroh pada hari tasyriq sebelum zawal pada kondisi hajat saja. Namun waktu yang afdhol adalah setelah zawal karena hal ini disepakati oleh para ulama.
--> Lebih baik menjamak daripada mengerjakan sebelum waktu zawal.
Sekali lagi tidak boleh bermudah-mudahan dalam masalah melempar jumrah pada hari tasyriq sebelum zawal tanpa ada hajat sebagaimana dilakukan kebanyakan orang. Jika kondisi begitu padat, atau si pelempar sudah tua, atau dalam kondisi sakit, maka boleh melempar jumrah diakhirkan di hari terakhir dan dijamak (digabungkan) untuk seluruh hari. Namun hal ini dilakukan pada hari terakhir setelah zawal.
Penjelasan seperti ini yang mesti dijelaskan pada Jama’ah Haji dan dijelaskan pada orang-orang yang lemah di antara mereka, seperti inilah yang bisa dilakukan. Rukhsoh atau keringanan seperti ini lebih tepat dibanding melempar jumrah sebelum zawal.
Wallahu waliyyut taufiq.

Referensi:
[Shifat Hajjatin Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- , Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Marzuq Ath Thoriqy, terbitan Maktabah Darul Minhaj, cetakan ketiga, 1433 H, hal. 184-186. @ Maktab Jaliyat Bathaa’, Riyadh, KSA, saat waktu Dhuha, 3 Dzulhijjah 1433H]


QADHA-DAM-TAMATTU
Pertanyaan:
Ustadz, saya ada pertanyaan: Beberapa tahun yang lalu, saya berangkat haji dan mengambil haji tamattu’. Namun karena keterbatasan dana yang saya bawa, saya tidak bisa membeli seekor kambing untuk membayar dam (denda). Sayangnya lagi, saya tidak sempat melakukan puasa tiga hari di Mekkah, dan sampai saat ini saya tidak melakukan apa-apa untuk mengganti dam haji tamattu’ tersebut. Karena saya belum mendapat jawaban atas permasalahan saya itu, maka saya ingin mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
Bolehkah saya menyembelih hewan dam itu sekarang padahal pelaksanaan hajinya sudah saya lakukan beberapa tahun yang lalu?
1. Jika boleh, bolehkah saat ini saya menyembelih hewan dam tersebut di tanah air dan dibagikan kepada fakir miskin atau anak-anak yatim sebagai pengganti dam haji tamattu’ yang saya lakukan beberapa tahun lalu, ataukah saya harus menyembelihnya di kota Mekkah?
2. Bolehkah saya mengganti dam tersebut dengan berpuasa selama sepuluh hari berturut-turut di tanah air?
3. Mohon Ustadz berkenan mencarikan jawabannya karena permasalahan ini sudah lama mengganjal di hati saya. Syukran katsiran atas jawaban Ustadz.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
S-….
Jawaban:
Wa’alaikumussalam Wr. Wb.
Saudaraku yang terhormat, kasus yang Anda hadapi termasuk unik dan jarang ditemui sehingga saya pribadi agak kesulitan saat mencari tahu tentang hukumnya. Beberapa kitab sudah saya buka, namun saya tidak menemukan pembahasan khusus mengenai kasus yang Anda hadapi itu. Namun demikian, setelah berusaha memahami kasus tersebut, dan –tentunya- setelah memohon petunjuk ALLAH swt., saya memberanikan diri untuk menjawabnya. Tapi perlu diingat, apa yang saya sampaikan di sini hanyalah pendapat pribadi yang saya simpulkan dari beberapa dalil, sehingga bisa saja benar dan bisa saja salah. Karena itu, bila nanti Anda menemukan pendapat dengan dalil yang lebih kuat, saya sarankan kepada Anda untuk mengikuti pendapat tersebut.
Saya juga berharap, dengan dimuatnya kasus yang Anda hadapi ini di website atau blog saya, mudah-mudahan ada di antara saudara-saudara kita yang memiliki pendapat dengan dalil yang lebih kuat mau memberikan sharing mengenai kasus tersebut.
Saudaraku, saya kira Anda sudah banyak mengetahui tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah haji, termasuk mengenai haji tamattu’. Namun tidak ada salahnya bila di sini saya mencoba untuk menjelaskan kembali tentang pengertian haji tamattu’, dengan tujuan agar saudara-saudara kita yang lain dapat mengetahuinya.
Haji tamattu’ adalah melakukan ibadah umrah dan ibadah haji secara terpisah, dengan mendahulukan ibadah umrah terlebih dahulu daripada ibadah haji. Dalam haji tamattu’ ini, setelah jama’ah selesai melaksanakan rangkaian ibadah umrah yang meliputi ihram, thawaf dan sa’i, mereka dibolehkan untuk bertahallul (mencukur rambut). Setelah itu, mereka pun boleh melepas kain ihramnya dan boleh bersenang-senang (tamattu’) karena sudah terbebas dari segala macam larangan ihram. Mereka tinggal menunggu tanggal 8 Dzulhijjah, dimana pada saat itu mereka harus berihram lagi guna melaksanakan rangkaian ibadah haji.
Karena sifatnya yang lebih ringan, haji model ini pun banyak diminati oleh jama’ah haji, termasuk yang berasal dari Indonesia. Namun perlu diingat, karena adanya unsur kemudahan (rukhshah) itulah, maka jama’ah yang memilih haji model ini diwajibkan untuk membayar dam atau denda, yaitu menyembelih seekor kambing. Bila tidak mampu, maka dapat diganti dengan berpuasa selama 10 hari; 3 hari di tanah suci dan 7 hari di tanah air.
Ketentuan ini sesuai dengan firman ALLAH swt.:

فَإِذَآ أَمِنتُمْ فَمَن تَمَتَّعَ بِٱلْعُمْرَةِ إِلَى ٱلْحَجِّ فَمَا ٱسْتَيْسَرَ مِنَ ٱلْهَدْىِ فَمَن لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَـٰثَةِ أَيَّامٍ فِي ٱلْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ
Apabila kamu dalam keadaan aman, maka barangsiapa mengerjakan umrah sebelum haji, dia (wajib menyembelih) hadyu (hewan sembelihan) yang mudah didapat. Tetapi jika dia tidak mendapatkannya, maka dia (wajib) berpuasa tiga hari dalam (musim) haji dan tujuh (hari) setelah kamu kembali. Itu seluruhnya sepuluh (hari). (QS. Al-Baqarah [2]: 196)

Firman ALLAH di atas, disebutkan setelah firman-Nya:

وَأَتِمُّواْ ٱلْحَجَّ وَٱلْعُمْرَةَ لِلَّهِ
Dan sempurnakanlah haji dan umrah karena ALLAH…. 

Ini berarti bahwa kita diperintahkan untuk menyempurnakan ibadah haji dan umrah dengan melengkapi semua rukun dan wajib haji yang telah ditetapkan syariat, dengan tujuan agar ibadah haji dan umrah kita benar-benar mencapai kesempurnaan. Khusus untuk hal-hal yang tidak termasuk rukun haji, pelaksanaannya bisa diwakilkan oleh orang lain atau bisa diganti dengan hal lain yang sifatnya lebih ringan, seperti haji ifrad bisa diganti dengan haji tamattu’, sebagai keringanan (rukhshah) dari ALLAH swt.. Namun, jama’ah haji yang melakukan hal itu, diwajibkan untuk membayar dam atau denda. Jadi, pembayaran dam yang Anda tanyakan di atas sama sekali tidak termasuk rukun yang mempengaruhi sah atau tidaknya ibadah haji. Pembayaran dam tersebut diwajibkan guna menyempurnakan ibadah haji.
Saudaraku, karena Anda telah memutuskan untuk mengambil haji tamattu’ sebagai pengganti haji ifrad, maka Anda dikenai kewajiban membayar dam, yaitu menyembelih kambing. Namun seperti yang Anda katakan, pada saat itu Anda tidak sempat untuk berpuasa, sehingga Anda sama sekali belum dianggap membayar dam yang sudah menjadi kewajiban bagi Anda. Dalam kasus Anda, menurut saya pembahasan yang paling tepat adalah mengqadha puasa sebagai pengganti dam haji tamattu’ dan bukan mengqadha pelaksanaan dam tamattu’. Dengan demikian, maka Anda tidak perlu menyembelih hewan dam seperti yang Anda tanyakan pada poin no. 1 dan no. 2.
Karena itu, Anda hanya dikenai kewajiban untuk mengqadha puasa sebagai pengganti dam haji tamattu’. Bila kewajiban itu belum dilakukan, maka ia akan menjadi hutang bagi Anda sampai kapanpun, yaitu hutang Anda kepada ALLAH swt.. Karenanya, mayoritas ulama berpendapat bahwa barangsiapa meninggal dalam keadaan masih memiliki tanggungan puasa kafarah, seperti puasa untuk kafarah zhihar atau puasa wajib sebagai dam haji tamattu’, maka ahli warisnya harus memberi makanan atas nama orang yang meninggal tersebut, setiap hari satu orang miskin dan tidak perlu diqadha puasanya.
Namun karena Anda masih hidup, maka Anda masih dikenai kewajiban untuk mengqadha puasa tujuh hari yang wajib dilakukan di negara asal, tidak boleh diganti dengan memberi makan orang miskin selama Anda masih mampu untuk melaksanakannya. Sedangkan puasa tiga hari yang wajib dilakukan di musim haji harus diganti dengan memberi makan orang miskin. Sebab di samping tempat pelaksanaannya berbeda, waktu pelaksanaannya juga sudah lewat.
Saudaraku, dalam kasus pembayaran kafarah ini, faktor penyesalan (taubat) dan kesungguhanlah yang sangat menentukan. Bila Anda sungguh-sungguh untuk membayar kafarah tersebut sesuai dengan pendapat yang saya sampaikan di atas, atau mungkin pendapat lain yang lebih kuat, maka yakinlah bahwa ALLAH swt. akan menerimanya. Ingatlah, bahwa ALLAH tidak membebani seseorang kecuali sesuai kesanggupannya (Lihat QS. Al-Baqarah [2]: 286, pada Bab Tanya-Jawab Sebelumnya). Hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. terhadap orang yang dikenai kewajiban membayar kafarah karena melakukan hubungan badan dengan isterinya di siang hari di bulan Ramadhan, dimana pada saat itu orang tersebut tidak mampu membebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarah, karena tidak ada beban syari’at kecuali kalau ada kemampuan. Berdasarkan hal itu, maka Rasulullah saw. pun menggugurkan kewajiban membayar kafarah bagi orang tersebut. Beliau malah memberinya satu wadah korma untuk diberikan kepada keluarganya.
Wallaahu A’lam…(Fatkhurozi)


HUKUM UMRAH BERULANG-ULANG KETIKA BERADA DI MEKKAH
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum keluar dari Mekkah ke selain tanah suci untuk melaksanakan umrah pada bulan Ramadhan dan di waktu lainnya (misalnya pada waktu ibadah haji, -peny)?
Jawaban
Para ulama salaf memandang, melakukan umrah berulang kali sebagai perbuatan yang makruh. Masalah ini telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fatawanya. Sebaiknya tidak perlu melakukan umrah berkali-kali, namun menggantinya dengan melakukan Thawaf berkali-kali, dan ini lebih utama. Baca selengkapnya di:  https://almanhaj.or.id/2576-sebelas-alasan-tidak-melakukan-umrah-berulang-kali-saat-berada-di-mekkah.html


Jika wukuf jatuh pada hari jum’at, haji akbar? Sama dengan 70 haji?

Sebagian jema’ah haji menyangka bahwasanya haji yang wuquf di Arofahnya bertepatan dengan hari jum’at maka pahalanya seperti 70 kali haji.

Persangkaan ini tidaklah tepat, karena tidak ada dalil yang menunjukkan akan hal ini. Adapun hadits yang sering dijadikan sandaran oleh masyarakat adalah sebuah hadits yang batil yang tidak ada asalnya, yaitu :

أَفْضَلُ الأَيَّامِ يَوْمُ عَرَفَةَ إِذَا وَافَقَ يَوْمَ الْجُمْعَةِ، وَهُوَ أَفْضَلُ مِنْ سَبْعِيْنَ حَجَّةً فِي غِيْرِ جُمْعَةٍ

“Sebaik-baik hari adalah hari Arofah jika bertepatan pada hari jum’at, dan ia lebih baik daripada 70 haji yang tidak bertepatan hari Arofahnya dengan hari jum’at”

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata :

وَأَمّا مَا اسْتَفَاضَ عَلَى أَلْسِنَةِ الْعَوَامّ بِأَنّهَا تَعْدِلُ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ حَجّةً فَبَاطِلٌ لَا أَصْلَ لَهُ عَنْ رَسُولِ اللّهِ صَلّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ وَلَا عَنْ أَحَدٍ مِنْ الصّحَابَةِ وَالتّابِعِينَ وَاَللّهُ أَعْلَمُ

“Adapun apa yang sering diucapkan oleh orang-orang awam bahwasanya jika jika hari Arofah bertepatan dengan hari jum’at maka nilainya seperti 72 haji maka merupakan perkara yang batil, tidak ada asalnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan tidak pula dari seorangpun dari para sahabat dan para tabi’in, wallahu a’lam” (Zaadul Ma’aad 1/57)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata :

بَاطِلٌ لاَ أَصْلَ لَهُ … فَإِنَّهُ لاَ أَصْلَ لَهُ فِي هَذِهِ الْكُتُبِ وَلاَ فِي غَيْرهَا مِنْ كُتُبِ الْحَدِيْثِ الْمَعْرُوْفَةِ

“Hadits batil tidak ada asalnya…., sesungguhnya hadits ini tidak ada asalnya (tidak tercantumkan sama sekali-pen) pada kitab-kitab ini  (yaitu Al-Kutub As-Sittah) dan tidak juga terdapat pada kitab-kitab hadits yang terkenal lainnya” (Silsilah Al-Ahaadiits Ad-Dho’iifah 1/373 no 207)


Akan tetapi jika hari Arofah bertepatan dengan hari jum’at maka hari tersebut memiliki banyak keistimewaan sebagaimana dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitabnya Zaadul Ma’aad (1/57).

Diantara keistimewaannya adalah :

 Telah berkumpul 2 hari raya, karena sesungguhnya hari jum’at adalah hari raya kaum muslimin, dan hari Arofah adalah hari rayanya para jama’ah haji.

Ibnul Qoyyim berkata :

قَالَ شَيْخُنَا : وَإِنّمَا يَكُونُ يَوْمُ عَرَفَةَ عِيدًا فِي حَقّ أَهْلِ عَرَفَة َ لِاجْتِمَاعِهِمْ فِيهِ بِخِلَافِ أَهْلِ الْأَمْصَارِ فَإِنّهُمْ إنّمَا يَجْتَمِعُونَ يَوْمَ النّحْرِ فَكَانَ هُوَ الْعِيدَ فِي حَقّهِمْ وَالْمَقْصُودُ أَنّهُ إذَا اتّفَقَ يَوْمُ عَرَفَةَ وَيَوْمُ جُمْعَةٍ فَقَدْ اتّفَقَ عِيدَانِ مَعًا

“Berkata guru kami (yaitu Ibnu Taimiyyah) : Hanyalah hari Arofah merupakan hari ‘ied/raya bagi jama’ah haji di Arofah karena pada hari tersebut mereka berkumpul, berbeda dengan para penduduk kota (yang tidak berhaji), mereka berkumpul pada hari nahr (10 Dzulhijjah), maka 10 Dzulhijjah adalah hari raya mereka. Maksudnya jika bertepatan hari Arofah dengan hari jum’at maka telah bertemu dua hari raya”




Gambar Petunjuk Tentang Pembayaran Dam Tamattu di Bank Al Rajhi (resmi lembaga pemerintah KSA):

Apakah kelebihan membayar Dam Tamattu di Bank Al Rajhi? Insya Allah:
1. Merupakan lembaga resmi pemerintah KSA
2. Insya Allah di sembelih pada hari Nahar
3. Distribusi insya Allah amanah

Bank Al Rajhi disekitar Masjidil Haram, tepatnya didepan pintu No: 87 (sisi barat-selatan Masjid Haram):



Hari dan Jam Buka dari Bank Al Rajhi:

Bagaimana cara pendaftarannya?
1. Biasanya pembukaan untuk pembayaran dam tamattu mendekati tanggal 1 Dzulhijjah.
2. Antrian bisa sangat panjang. Usahakan jangan hari pertama, dipilih yang mendekati jam penutupan Bank, insyaAllah antriannya sudah berkurang.
3. Mintalah kupon kepada Customer Service setempat, contohnya seperti ini:

4. Segera isi kupon tersebut, dan lakukan pembayaran yang biayanya tertera dalam kupon tersebut (saat itu 460 Riyal)
5. Berikut contoh bukti Pembayaran Dam tamattu:


Gambar Petunjuk Tentang Pembayaran Fidyah(tebusan)/Kafarat(denda)

Apakah itu Fidyah atau Kafarat?
Kafarat adalah adalah denda bagi seseorang yang melanggar hukum Islam, yang bertujuan menutup dosa tersebut sehingga tidak ada lagi pengaruh dosa yang ia perbuat, baik di dunia maupun di akhirat.
Sementara pengertian fidyah adalah tebusan bagi seseorang untuk menyelamatkan dirinya dari perbuatan dosa karena tidak mampu untuk menjalankan syariat.

Denda dalam Haji
Denda atau tebusan bagi mereka yang menunaikan haji atau umrah tetapi melakukan pelanggaran ketentuan atau peraturan yang telah ditetapkan. Pelanggaran itu misalnya melakukan larangan – larangan Ihram atau tidak dapat menyempurnakan wajib haji seperti mabit di Mina atau Muzdalifah. Para Ulama telah sepakat bahwa seseorang yang menunaikan ibadah haji akan dikenakan Dam apabila melakukan antara lain pelanggaran – pelanggaran sebagai berikut :
  • Melakukan Haji Qiran atau Tamattu.
  • Tidak Ihram dari Miqat
  • Tidak Mabit I di Muzdalifah
  • Tidak Mabit II di Mina
  • Tidak melontar Jumrah
  • Tidak melakukan Tawaf Wada
Pembagian larangan ihram berdasarkan hukum fidyah yang dikenakan
1. Yang tidak ada fidyah, yaitu akad nikah.
2. Fidyah dengan seekor unta, yaitu jima’ (hubungan intim suami-istri) sebelum tahallul awwal, ditambah ibadah hajinya tidak sah.
3. Fidyah jaza’ atau yang semisalnya, yaitu ketika berburu hewan darat. Caranya adalah ia menyembelih hewan yang semisal, lalu ia memberi makan kepada orang miskin di tanah haram. Atau bisa pula ia membeli makanan (dengan harga semisal hewan tadi), lalu ia memberi makan setiap orang  miskin dengan satu mud, atau ia berpuasa selama beberapa hari sesuai dengan jumlah mud makanan yang harus ia beli.
4. Selain tiga larangan di atas, maka fidyahnya adalah memilih: [1]  Berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila telah pulang kembali ke tanah air [2] memberi makan kepada 6 orang miskin, setiap orang miskin diberi 1 mud dari burr (gandum) atau beras, [3] menyembelih seekor kambing. (Al Hajj Al Muyassar, 68-71)

Berdasarkan Ayat:
QS.Al-Ma'idah Ayat 95:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْتُلُوا الصَّيْدَ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ ۚ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ مُتَعَمِّدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ ذَوَا عَدْلٍ مِنْكُمْ هَدْيًا بَالِغَ الْكَعْبَةِ أَوْ كَفَّارَةٌ طَعَامُ مَسَاكِينَ أَوْ عَدْلُ ذَٰلِكَ صِيَامًا لِيَذُوقَ وَبَالَ أَمْرِهِ ۗ عَفَا اللَّهُ عَمَّا سَلَفَ ۚ وَمَنْ عَادَ فَيَنْتَقِمُ اللَّهُ مِنْهُ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu sebagai had-yad yang dibawa sampai ke Ka'bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.

QS.Al-Baqarah Ayat 196:
وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfid-yah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.


PELANGGARAN DAN DENDA

Larangan
Kondisi
Dam atau denda
Memakai Pakaian biasa
Pria
Memotong seekor kambing, berpuasa selama 10 hari. 3 hari di tanah suci sisa di tanah air
Menutup kepala
Pria
Memotong seekor kambing
Menutup muka atau tangan
Wanita
Memotong seekor kambing
Memotong rambut
Lebih dari 12 helai
Memotong seekor kambing
Memotong Kuku
Lebih dari 4 kuku
Memotong seekor kambing. Jika kurang dari 4 kuku, maka setiap satu kuku, dikenai denda/ fidyah satu mud, Jika dua kuku, berarti dua mud.
Memakai wewangian
Pria/Wanita
Memotong seekor kambing
Berburu atau membunuh binatang buruan
Menyembelih hewan yang semisal atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu (ada yang mengatakan: memberi makan 60 orang miskin atau berpuasa setiap fakir miskin satu hari puasa)
Bertengkar
Pria/Wanita
Memotong seekor kambing
Merusak tanaman di tanah suci
Memotong seekor kambing
Melakukan akad nikah atau menikahkan
Sedang berihram
Nikahnya batal dan tidak sah, tetapi tidak wajib membayar fidyah. Inilah satu-satu larangan dalam ihram, jika dilanggar tidak diwajibkan membayar fidyah.   
Bersetubuh suami-istri
Sebelum tahallul Awal
1. Hajinya rusak dan Batal. 
2. Wajib Memotong seekor unta atau sapi. 
3. Mengulangi lagi Hajinya tahun berikutnya, meskipun haji sunnah (yang kedua dst).
Bersetubuh suami-istri
Sebelum tahallul Kedua
1. Hajinya Sah.
2. Namun diwajibkan bagi keduanya untuk menyembelih unta, sebagaimana perkataan Ibnu Abbas kepada seorang laki-laki yang menggauli istrinya sebelum thowaf  Ifadhah (yaitu thowaf pada hari penyembelihan), mereka berdua harus menyembelih unta.
3. Dan bagi keduanya tidak usah menggantikan hajinya tahun depan.
Melakukan perbuatan yang dilarang dalam haji (yang ringan-ringan)
Dapat dipilih
             1. Menyembelih seekor kambing
             2. Memberi makan 6 orang miskin
(perhitungannya, 1 orang miskin = 15 riyal, sehingga total pembayaran bagi seseorang yang melakukan pelanggaran ringan adalah 15 x 6 = 90 Riyal).

Lokasi ada disekitar Markas Ajyad (mobil pemadam kebakaran) dan Terminal Bis Ajyad.



No Rekening (katakan ingin membayar untuk Khiffarat kepada Customer Servicenya) dan Jenis-jenis Pembayaran yang bisa Anda lakukan:


Dan dapatkan Kupon Resmi dari (setelah) pembayaran Kaffarat Anda (contoh):


Bagaimana dengan Denda yang berupa Kambing? Berapakah Harganya?


-------------------------------------------------------------





Tidak ada komentar:

Posting Komentar