Senin, 09 November 2015

Thalak dan Menuduh Zina?

Macam-macam thalak dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu:

1. Thalak dilihat dari segi jumlah:
A). Thalak satu, yaitu thalak yang pertama kali dijatuhkan oleh suami dan hanya dengan satu thalak.
B). Thalak dua, yaitu thalak yang dijatuhkan oleh suami untuk yang kedua kalinya, pada kesempatan dan waktu yang berlainan.
C). Thalak tiga, yaitu thalak yang dijatuhkan oleh suami untuk yang ketiga kalinya, pada kesempatan dan waktu yang berlainan pula.

Misal, perkataan suami, “Engkau saya talak tiga,” atau suami mengatakan : “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak,” (diulang tiga kali), maka ucapannya itu dihukumi sebagai talak satu. [Lihat pembahasan mengenai masalah ini dalam I'laamul Muwaqqi'iin (IV/377-426), Al-Jaami' fii Ahkaamith Thalaaq wa Fiqhihi wa Adillatihi (hal. 79-85), dan Al-Mughni (VII/98)]

2. Thalak ditinjau dari segi boleh atau tidaknya bekas suami rujuk:
A). Talak raj'i adalah seorang suami yang mentalak istrinya yang sudah dicampuri tanpa menerima pengembalian mahar dari pihak istri dan belum didahului dengan talak sama sekali atau baru didahulu dengan talak satu kali.

Allah Ta'ala berfirman,

الطَّلَقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْـسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـنٍ ۗ …

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229)

Seorang wanita yang mendapat talak raj'i, maka statusnya masih sebagai istri selama dia masih berada dalam masa 'iddah (menunggu) dan suaminya berhak untuk rujuk kepadanya kapan saja suaminya berkehendak selama dia masih berada dalam masa 'iddahnya, dan tidak disyaratkan adanya keridhaan istri atau izin dari walinya.

Allah Ta'ala berfirman,

وَٱلْمُطَلَّقَـٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَـٰثَةَ قُرُوۤءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىۤ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلأَْخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوۤاْ إِصْلَـٰحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ

228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[diartikan suci atau haidh]. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah (perbaikan) …” (Qs. Al-Baqarah: 228)

B). Talak ba‘in adalah talak yang terjadi setelah masa 'iddah istri karena talak raj'i telah selesai. Dan hal ini menjadikan suami tidak dapat merujuk istrinya lagi.

Talak ba-‘in terbagi lagi menjadi dua, yaitu:

a). Talak ba-‘in shughra, yaitu talak yang terjadi di mana suami tidak memiliki hak untuk rujuk kembali dengan istrinya kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru, serta dengan keridhaan istri yang dicerai. Talak ini terjadi pada 3 keadaan berikut:
       - Suami tidak merujuk istrinya dari talak raj'i hingga masa 'iddah selesai;
       - Suami mentalak istrinya sebelum mencampurinya (pengantin baru)
       - Istri minta cerai (khulu') pada suaminya. Jika telah terjadi cerai maka perceraian tersebut dianggap sebagai talak ba-‘in, sehingga apabila suami ingin merujuknya maka suami harus menikahinya lagi dengan akad dan mahar yang baru setelah istri ridha untuk menikah lagi dengan mantan suaminya tersebut. [Lihat uraian mengenai hal ini dalam Shahiih Fiqhis Sunnah (III/274-278)]

b). Talak ba‘in kubra, yaitu talak yang ketiga kalinya. Allah Ta'ala berfirman,

الطَّلَقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيْحٌ بِإِحْسَنٍۗ وَلاَ يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُواْ مِمَّآ ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّآ أَنْ يَخَافَآ أَلَّا يُقِيْمَا حُدُودَاللهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيْمَا حُدُودَاللهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهِۗ تِلْكَ حُدُودَاللهِ فِلَا تَعْتَدُوهَاۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَاللهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّلِمُونَ۝ فَإِن طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ، مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُۗ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَآ أَنْ يَتَرَأ جَعَآ إِنْ ظَنَّآ أَنْ يُقِيْمَا حُدُودَاللهِۗ وَتِلْكَ حُدُودَاللهِ يَبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ۝

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya (suami dan istri) khawatir tidak mampu menjalankan hukum-hukum Allah, maka keduanya tidak berdosa atas bayaran yang (harus) diberikan (oleh istri) untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang zhalim. Kemudian jika dia menceraikannya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya sebelum dia menikah dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (suami pertama dan mantan istri) untuk menikah kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah ketentuan-ketentuan Allah yang diterangkan-Nya kepada orang-orang yang berpengetahuan.” (Qs. Al-Baqarah: 229-230)

Setelah talak ba-‘in kubro, mantan suami tidak lagi memiliki hak untuk rujuk dengan mantan istrinya, baik ketika dalam masa 'iddah maupun sesudahnya. Kecuali syarat berikut:
a. Istri telah dinikahi laki-laki lain secara alami, artinya bukan nikah tahlil. Nikah tahlil adalah pernikahan seorang laki-laki dengan wanita yang telah ditalak tiga, dengan maksud untuk diceraikan agar suami yang pertama bisa menikah lagi dengan wanita tersebut. Baik sebelumnya ada konspirasi antara suami pertama dengan suami kedua maupun tidak.
b. Dilaksanakan dengan akad nikah baru, mahar baru, dan atas keridhaan sang istri.
[Lihat Shahiih Fiqhis Sunnah (III/278-279)]

Adapun perbedaan antara talak ba-‘in sughra dan talak ba-‘in kubra adalah ketentuan dalam proses rujuk antara mantan suami dan mantan istri. Untuk talak ba-‘in kubra, mantan istri bisa kembali kepada mantan suami, jika dia telah dinikahi laki-laki lain dan sudah terjadi hubungan badan. Sementara talak ba-‘in sughra, mantan istri dapat dirujuk kembali mantan suami yang telah menceraikannya, tanpa harus menikah terlebih dahulu dengan laki-laki lain.


3. Thalak ditinjau dari segi keadaan istri, yaitu:
A). Thalak sunny, yaitu thalak yang dijatuhkan suami kepada istri yang pernah dicampurinya dengan sekali talak dan pada waktu itu keadaan istri:
- Dalam keadaan suci dan pada waktu suci tersebut belum dicampuri.
- Sedang hamil dan jelas kehamilannya.
Jadi, suami menjatuhkan talak ketika istrinya dalam keadaan suci dari haidh dan belum pernah dicampuri sejak masa haidh terakhir istrinya berakhir.

Allah Ta'ala berfirman,

الطَّلَقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْـسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَـنٍ ۗ …

“Talak (yang dapat dirujuk) itu dua kali. (Setelah itu suami dapat) menahan dengan baik, atau melepaskan dengan baik…” (Qs. Al-Baqarah: 229)

يَـأَيُّـهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْـتُـمُ النِّسَـآءَ فَطَلِّقُو هُنَّ لِعِدَّ تِهِنَّ …

“Wahai Nabi! Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) 'iddahnya (yang wajar)…” (Qs. Ath-Thalaq: 1)

Nabi shallallahu 'laihi wa sallam telah menafsirkan ayat ini, yaitu tatkala Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma mentalak istrinya dalam keadaan haidh. Kemudian 'Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu 'anhu menanyakan hal tersebut kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka beliau bersabda,

أَمَرَنِي أَنْ أُرَا جِعَهَا، ثُمَّ أُمْسِكَهَا حَتَّى تَحِيْضَ حَيْضَةٌ أُخْرَى، ثُمَّ أُمْهِلَهَا حَتَّى تَطْهُرَ، ثُمَّ أَطَلِّقّهَا قَبْلَ أَنْ أَمَسَّهَا، وَأَمَّا أَنْتَ طَلَّقْتَهَا ثَلاَثًا، فَقَـدْ عَصَيْتَ رَبَّـكَ فِيْمَـا أَمَرَكَ مِنْ طَلاَقِ امْرَأَتِكَ .

“Perintahkan agar ia kembali kepada (istri)nya, kemudian menahannya hingga masa suci, lalu masa haidh dan suci lagi. Setelah itu bila ia menghendaki ia boleh tetap menahannya menjadi istri atau bila ia menghendaki ia boleh menceraikannya sebelum bersetubuh dengannya. Itu adalah masa 'iddah yang diperintahkan Allah untuk menceraikan istri.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5332), Muslim (no. 1471), Abu Dawud dalam 'Aunul Ma'bud (VI/227 no. 2165) dan An-Nasa'i (VI/138)]

B). Thalak bid’iy, yaitu talak yang menyelisihi ketentuan syari'at, sehingga hukum talak ini adalah haram dan orang yang melakukannya berdosa. Thalak ini dijatuhkan oleh pihak suami terhadap istri yang pernah dicampurinya, dan pada waktu itu keadaan istri:
- Sedang haidh
- Dalam keadaan suci tetapi pada waktu suci tersebut sudah dicampuri.
- Atau seorang suami yang melontarkan tiga talak sekaligus dengan satu lafazh atau dalam satu majelis.
Misal, perkataan suami, “Engkau saya talak tiga,” atau suami mengatakan : “Engkau tertalak, engkau tertalak, engkau tertalak,” (diulang tiga kali), maka ucapannya itu dihukumi sebagai talak satu. [Lihat pembahasan mengenai masalah ini dalam I'laamul Muwaqqi'iin (IV/377-426), Al-Jaami' fii Ahkaamith Thalaaq wa Fiqhihi wa Adillatihi (hal. 79-85), dan Al-Mughni (VII/98)]

4. Thalak ditinjau dari segi tegas atau tidaknya kata-kata yang dipergunakan:
A). Thalak sharih, yaitu thalak yaitu thalak yang mempergunakan kata-kata yang jelas dan tegas dipahami sebagai thalak pada saat dijatuhkan dan tidak mengandung kemungkinan makna yang lain. Sehingga talak telah dijatuhkan/sah.
Misalkan: “Anti thaaliq” (engkau telah tertalak) atau “Muthallaqah” (engkau wanita yang tertalak), atau Kamu saya cerai. Dan semua kalimat yang semisal dengan kata-kata talak atau cerai.

Seorang suami yang mengatakan kalimat demikian kepada istrinya, maka jatuhlah talaknya. Meskipun dilakukan dalam keadaan bercanda atau tanpa niat untuk menjatuhkan talak.
Maka talak yang lafazhnya jelas diucapkan oleh suami meski dalam keadaan bercanda, talaknya jatuh dan dianggap sebagai talak satu. [Lihat Syarhus Sunnah (IX/220), Zaadul Ma'ad (V/204), Ensiklopedi Larangan (III/80-81)]

B). Thalak kinayah, yaitu thalak yang menggunakan kata-kata sindiran atau samar-samar. Talak ini redaksinya mengandung beberapa kemungkinan makna, bisa bermakna talak atau selainnya. Misalkan: “Alhiqi bi ahliki” (kembalilah kepada keluargamu), dan yang semisalnya. Sehingga talak ini perlu ditinjau lagi, apakah tujuannya menjatuhkan thalak ataukah tidak. Jika iya, maka talak telah dijatuhkan/sah.

Jika seorang suami mengatakan kalimat seperti itu, maka talaknya tidak jatuh kecuali perkataan tersebut disertai dengan niat talak. Jadi apabila suami mengatakannya dengan niat untuk mentalak istrinya, maka jatuhlah talaknya. Tetapi apabila suami tidak berniat mentalak istrinya, maka talaknya tidak jatuh.

> Contoh lafazh talak kinaayah yang disertai dengan niat talak adalah sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah riwayat dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, dia berkata, “Tatkala putri Al-Jaun dimasukkan ke kamar (pengantin) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan beliau mendekatinya, ia (putri Al-Jaun) mengatakan, A'uudzu billahi minka” (Aku berlindung kepada Allah darimu). Maka beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda kepadanya,

لَقَدْ عُذْتِ بِعَظِيْـمٍ، إِلْحَقِي بِأَهْلِكِ .

“Sungguh engkau telah berlindung kepada Dzat Yang Maha Agung, kembalilah engkau kepada keluargamu.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 5254) dan An-Nasa'i (VI/150)]

Hadits ini merupakan dalil bahwa ucapan “Kembalilah engkau kepada keluargamu,” yang diucapkan seorang suami kepada istrinya adalah ungkapan talak. Sehingga apabila ucapan tersebut diniatkan sebagai talak, maka jatuhlah talaknya. Dan talaknya dihukumi sebagai talak satu, sebagaimana disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Sunan Al-Kubra (VII/342).

> Sedangkan contoh lafazh talak kinaayah tanpa disertai dengan niat talak adalah sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Ka'ab bin Malik radhiyallahu 'anhu, tatkala ia bersama dengan dua orang Shahabat (yakni Murarah bin Ar-Rabi Al-'Amri dan Hilal bin Umayaah Al-Waqifi) yang dihajr (diboikot) oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam karena tidak mengikuti Perang Tabuk bersama dengan beliau. Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengutus seseorang untuk menyampaikan kabar kepadanya,

إِنْ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَـأمُرُكَ أَنْ تَعْـتَـزِلَ امْـرَأَتَـكَ ، قَالَ : فَـقُـلْتُ : أُطَلَّقُـهَا أَمْ مَاذَا أَفْـعَـلُ ؟ قَالَ: لاَ ، بَلِ اعْـتَـزِلْهَا فَـلاَ تَـقْـرَ بَنَّهَا ، قَالَ : فَأَرْ سَلَ إِلَى صَا حِبَيَّ بِمِثْلِ ذَلِكَ ، قَالَ : فَـقُـلْتُ لإِمْرَأَتِي : اَلْحِقِي بِأَهْـلِـكِ فَكُونِى عِـنْدَهُـمْ حَتَّى يَقْـضِيَ اللهُ فِي هَـذَا الْأَمْرِ .

“Bahwasanya beliau menyuruhmu untuk menjauhi istrimu.” Aku (Ka'ab) bertanya, “Aku ceraikan atau apa yang harus aku lakukan?” Orang itu menjawab, “Sekedar menjauhinya saja dan jangan sekali-kali engkau mendekatinya.” Maka kemudian aku (Ka'ab) berkata kepada istriku, “Kembalilah engkau kepada keluargamu dan tinggallah bersama mereka hingga Allah menetapkan putusan dalam masalah ini.” [Hadits shahih. Riwayat Bukhari (no. 4418), Muslim (no. 2769), Abu Dawud dalam 'Aunul Ma'bud (VI/285 no. 2187) dan An-Nasa'i (VI/152)]

Dalam riwayat ini, Ka'ab bin Malik menyuruh istrinya untuk kembali kepada keluarganya karena perintah dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan bukan karena niat Ka'ab untuk menceraikan istrinya. Sehingga dengan demikian, perkataan Ka'ab tersebut hanyalah dihukumi sebagai kiasan saja dan tidak mengakibatkan jatuhnya talak.

5. Thalak ditinjau dari segi langsung atau tidaknya menjatuhkan thalak:
A). Thalak muallaq, yaitu thalak yang dikaitkan dengan syarat tertentu. Thalak ini jatuh apabila syarat yang disebutkan suami terwujud. Misalnya suami mengatakan: “Engkau terthalak bila meninggalkan shalat”. Maka apabila istri benar-benar tidak shalat maka jatuhlah thalak.

Namun setelah ditelusuri, ternyata ada pendapat lain, yakni ada dua kemungkinan yang diniatkan suami ketika mengucapkan semacam ini:

1. Suami berniat agar talaknya jatuh tatkala syaratnya tersebut terpenuhi. Jika istri melaksanakan apa yang disyaratkan dalam talak tersebut maka talak terjadi.
2. Suami hanya bermaksud untuk memperingati istrinya agar tidak berbuat hal yang demikian, namun bukan dalam rangka mentalak. Untuk kasus ini hukumnya sebagaimana sumpah. Artinya, apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka suami tidak dibebani apa-apa, namun jika syaratnya tersebut terpenuhi, dimana istri melanggar apa yang disampaikan suaminya maka suami wajib membayar kafarat sumpah. Demikian keterangan yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu' Al-Fataawaa (XXXIII/44-46, 58-60, 64-66).

Atau apabila talak yang dijatuhkan dikaitkan dengan waktu tertentu. Misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Tanggal 1 bulan depan kamu tertalak”. Mayoritas ulama berpendapat bahwa talak yang diucapkan dalam kondisi semacam ini terlaksana jika waktu jatuh temponya sudah datang. Sehingga sang istri tertalak sejak datangnya waktu yang disebutkan dalam kalimat talak. (Mausu’ah Fiqhiyah Kuwaithiyah, XXIX/37)

B). Thalak ghairu muallaq, yaitu thalak yang tidak dikaitkan dengan suatu syarat tertentu. Misalnya suami berkata: “Sekarang juga engkau aku thalak”. Maka jatuhlah thalak saat itu juga.


>> Bagaimana jika ucapan thalak si suami itu hanya gurauan?
Qutaibah menceritakan kepada kami, Hatim bin Ismail memberitahukan kepada kami dari Abdurrahman bin Adrak Al Madini, dari Atha, dari Ibnu Mahak, dari Abu Hurairah, ia berkata, "Rasulullah SAW bersabda, "Ada tiga perkara yang sungguh-sungguhnya jadi sungguh dan senda guraunya jadi sungguh-sungguh yaitu nikah, thalak, dan ruju'"
Shahih: Shahih Sunan Tirmidzi (1184) dan Ibnu Majah (2039)


6. Thalak ditinjau dari segi cara suami menyampaikan thalak:
A). Thalak dengan ucapan, yaitu thalak yang disampaikan oleh suami terhadap istrinya dengan ucapan lisan dihadapan istrinya dan istri mendenggar langsung ucapan suaminya.
B). Thalak dengan tulisan, yaitu thalak yang disampaikan oleh suami terhadap istrinya dalam bentuk tulisan, kemudian istri membaca dan memahami isinya.
C). Thalak dengan isyarat, thalak dengan menggunakan isyarat oleh suami yang tidak bisa bicara (tuna bicara), sepanjang isyarat itu jelas dan benar untuk maksud thalak, sementara istrinya memahami syarat tersebut.
D). Thalak dengan utusan, yaitu thalak yang dijatuhkan suami dengan melalui perantaraan orang yang bisa dipercaya untuk menyampaikan maksud bahwa suaminya menalak istrinya.

7. Thalak dilihat dari segi bentuknya:
A). 'Ila, yaitu sumpah suami tidak akan menggauli istrinya karena suatu sebab. Pada zaman jahiliah, suami yang telah meng-'ila istrinya maka istri tersebut tidak diurusi lagi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi apabila ingin menikah lagi dengan pria lain tidak diperbolehkan. Jadi istri tersebut terkatung-katung nasibnya. Kemudian islam datang memberi batas waktu paling lama empat bulan. Setelah itu suami harus mwmutuskan, apakah menceraikan istrinya atau kembali. Apabila habis batas empat bulan, tetapi suami tetap diam, istri berhak mengajukan gugatan ke pengadilan agama setempat.

B). Li’an, yaitu sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan 4 kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada sumpah kesaksian ke lima disertai pernyataan ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu. Dengan terjadinya sumpah li’an terjadilah perceraian antara suami istri dan tidak boleh terjadi perkawinan kembali untuk selamanya.

Rasulullah saw bersabda:

اَلْمُتَلاَ عِنَانِ اِذَا تَضَرَّقَا لاَ يَجْتَمِعَانِ اَبَدًا

“Suami istri yang telah saling berli’an itu setelah bercerai tidak boleh berkumpul untuk selamanya”.

>> Selengkapnya ada di Bab dibawah artikel ini, yakni bab: Menuduh Orang Berzina Tanpa Saksi

C). Dzihar, yaitu perkataan suami terhadap istrinya yang mengandung maksud menyamakan istrinya dengan ibunya sendiri. Wanita yang didzihar memang haram untuk digauli, tetapi hanya bersifat sementara. Apabila suami telah membayar kaffarat, baru boleh memperlakukan istrinya seperti semula. Adapun kaffaratnya yaitu membebaskan budak atau berpuasa selama dua bulan berturut-turut atau memberi makan enam puluh fakir-miskin.

D). Fasakh, yaitu jatuhnya thalak oleh keputusan hakim atas dasar pengaduan istri, sementara hakim mempertimbangkan kelayakan-kelayakannya, sementara suami tidak mau menjatuhkan thalak. Perceraian dalam bentuk fasakh ini bisa terjadi apabila:
1. Terdapat aib (cacat) pada salah satu pihak, seperti suami berpenyakit kusta dan lain sebagainya.
2. Suami tidak mau memberikan nafkah.
3. Mengumpulkan dua orang bersaudara menjadi istri.
4. Penganiayaan yang berat pada fisik.
5. Suami murtad atau hilang tidak jelas, hidup atau mati.

E). Khuluk, yaitu thalak yang dijatuhkan oleh suami dengan pembayaran atau tebusan dari pihak istri kepada suami, thalak ini biasanya dilakukan atas kehendak istri dan dapat dilakukan sewaktu suci maupun haid. Khuluk dapat mengakibatkan bekas suami tidak dapat rujuk kembali dan tidak boleh menambah thalaq sewaktu iddah, hanya diperbolehkan kawin kembali melalui aqad baru.


AL-KHULU’, GUGATAN CERAI DALAM ISLAM

(Oleh: Ustadz Kholid Syamhudi Lc.)

Sakinah, mawaddah dan kasih sayang adalah asas dan tujuan disyariatkannya pernikahan dan pembentukan rumah tangga. Dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِۚنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

“Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir” [Ar-Rum : 21]

Namun kenyataannya banyak terjadi dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang isteri melakukan gugatan cerai dengan segala alasan. Fenomena ini banyak terjadi dalam media massa, sehingga diketahui khalayak ramai. Yang pantas disayangkan, mereka tidak segan-segan membuka rahasia rumah tangga, hanya sekedar untuk bisa memenangkan gugatan,. Padahal, semestinya persoalan gugatan cerai ini harus dikembalikan kepada agama, dan menimbangnya dengan Islam. Dengan demikian, kita semua dapat ber-Islam dengan kaffah (sempurna dan menyeluruh).

PENGERTIAN GUGATAN CERAI
Gugatan cerai, dalam bahasa Arab disebut Al-Khulu ( الخُلْعُ ). Kata Al-Khulu ( الخُلْعُ ) dengan didhommahkan hurup kha’nya dan disukunkan huruf Lam-nya, berasal dari kata ( خُلْعُ الْشوْ بِ ). Maknanya melepas pakaian. Lalu digunakan untuk istilah wanita yang meminta kepada suaminya untuk melepas dirinya dari ikatan pernikahan yang dijelaskan Allah sebagai pakaian.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

هُنَّ لِبَاسٌلَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌلَهُنَّ

“Mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka”[Al-Baqarah : 187]

Sedangkan menurut pengertian syari’at, para ulama mengatakan dalam banyak defenisi, yang semuanya kembali kepada pengertian, bahwasanya Al-Khulu ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-isteri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan isteri kepada suaminya [1]. Adapun Syaikh Al-Bassam berpendapat, Al-Khulu ialah perceraian suami-isteri dengan pembayaran yang diambil suami dari isterinya, atau selainnya dengan lafazh yang khusus” [2]

HUKUM AL-KHULU’

Al-Khulu disyariatkan dalam syari’at Islam berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَۖإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِۗلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَۚمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang zhalim’ [Al-Baqarah : 229]

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma.

جَاءَتْ امرَأَةُ ثَابِت بْنِ قَيْسبْنِ شَمَّاسٍإِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّه مَاأَنقِمُ عَلَى ثَابِتٍ فِي دِيْنٍ وَلاَ خُلُقِ إِلاَّ نِّي أَ أَخَافُ الْكُفْرَ فَقَالَ رَسُواللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَرُدِّيْنَ عَلَيْهِ حَدِيقََتَهُ فَقَالَتْ نَعَمْ فَرَدَّتْ عَلَيْهِ وَأَمَرَهُ فَفَارَقَهَا

“Isteri Tsabit bin Qais bin Syammas mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata ; “Wahai Rasulullah, aku tidak membenci Tsabit dalam agama dan akhlaknya. Aku hanya takut kufur”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah kamu mengembalikan kepadanya kebunnya?”. Ia menjawab, “Ya”, maka ia mengembalikan kepadanya dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya, dan Tsabit pun menceraikannya” [HR Al-Bukhari]

Demikian juga kaum muslimin telah berijma’ pada masalah tersebut, sebagaimana dinukilkan Ibnu Qudamah [3], Ibnu Taimiyyah [4], Al-Hafizh Ibnu Hajar [5], Asy-Syaukani [6], dan Syaikh Abdullah Al-Basam [7], Muhammad bin Ali Asy-Syaukani menyatakan, para ulama berijma tentang syari’at Al-Khulu, kecuali seorang tabi’in bernama Bakr bin Abdillah Al-Muzani… dan telah terjadi ijma’ setelah beliau tentang pensyariatannya. [8]

KETENTUAN HUKUM AL-KHULU[9]

Menurut tinjauan fikih, dalam memandang masalah Al-Khulu terdapat hukum-hukum taklifi sebagai berikut:

1. Mubah (Diperbolehkan).
Ketentuannya, sang wanita sudah benci tinggal bersama suaminya karena kebencian dan takut tidak dapat menunaikan hak suaminya tersebut dan tidak dapat menegakkan batasan-batasan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ketaatan kepadanya, dengan dasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ

“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya” [Al-Baqarah : 229]

Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ketentuan dalam masalah Al-Khulu ini dengan pernyataannya, bahwasanya Al-Khulu, ialah seorang suami menceraikan isterinya dengan penyerahan pembayaran ganti kepada suami. Ini dilarang, kecuali jika keduanya atau salah satunya merasa khawatir tidak dapat melaksanakan apa yang diperintahkan Allah. Hal ini bisa muncul karena adanya ketidaksukaan dalam pergaulan rumah tangga, bisa jadi karena jeleknya akhlak atau bentuk fisiknya. Demikian juga larangan ini hilang, kecuali jika keduanya membutuhkan penceraian, karena khawatir dosa yang menyebabkan timbulnya Al-Bainunah Al-Kubra (Perceraian besar atau Talak Tiga) [10]
Syaikh Al-Bassam mengatakan, diperbolehkan Al-Khulu (gugat cerai) bagi wanita, apabila sang isteri membenci akhlak suaminya atau khawatir berbuat dosa karena tidak dapat menunaikan haknya. Apabila sang suami mencintainya, maka disunnahkan bagi sang isteri untuk bersabar dan tidak memilih perceraian.[11]

2.Diharamkan Khulu’, Hal Ini Karena Dua Keadaan:
A). Dari Sisi Suami.
Apabila suami menyusahkan isteri dan memutus hubungan komunikasi dengannya, atau dengan sengaja tidak memberikan hak-haknya dan sejenisnya agar sang isteri membayar tebusan kepadanya dengan jalan gugatan cerai, maka Al-Khulu itu batil, dan tebusannya dikembalikan kepada wanita. Sedangkan status wanita itu tetap seperti asalnya jika Al-Khulu tidak dilakukan dengan lafazh thalak, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِمَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ

“Janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian kecil dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata” [An-Nisa : 19] [12]

Apabila suami menceraikannya, maka ia tidak memiliki hak mengambil tebusan tersebut. Namun, bila isteri berzina lalu suami membuatnya susah agar isteri tersebut membayar terbusan dengan Al-Khulu, maka diperbolehkan berdasarkan ayat di atas. [13]
B). Dari Sisi Isteri 
Apabila seorang isteri meminta cerai padahal hubungan rumah tangganya baik dan tidak terjadi perselisihan maupun pertengkaran di antara pasangan suami isteri tersebut. Serta tidak ada alasan syar’i yang membenarkan adanya Al-Khulu, maka ini dilarang (haram untuk Khulu’), berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا فِي غَيْرِ مَا بَاْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ

“Semua wanita yang minta cerai (gugat cerai) kepada suaminya tanpa alasan, maka haram baginya aroma surga” [HR Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad, dan dishahihkan Syaikh Al-Albani dalam kitab Irwa’ul Ghalil, no. 2035] [14]

3. Mustahabbah (Sunnah) Wanita Minta Cerai (Al-Khulu).
Apabila suami berlaku mufarrith (meremehkan) hak-hak Allah, maka sang isteri disunnahkan Al-Khulu. Demikian menurut madzhab Ahmad bin Hanbal. [15]

4. Wajib
Terkadang Al-Khulu hukumnya menjadi wajib pada sebagian keadaan. Misalnya terhadap orang yang tidak pernah melakukan shalat, padahal telah diingatkan demikian juga seandainya sang suami memiliki keyakinan atau perbuatan yang dapat menyebabkan keyakinan sang isteri keluar dari Islam dan menjadikannya murtad. Sang wanita tidak mampu membuktikannya di hadapan hakim peradilan untuk dihukumi berpisah atau mampu membuktikannya, namun hakim peradilan tidak menghukuminya murtad dan tidak juga kewajiban bepisah, maka dalam keadaan seperti itu, seorang wanita wajib untuk meminta dari suaminya tersebut Al-Khulu walaupun harus menyerahkan harta. Karena seorang muslimah tidak patut menjadi isteri seorang yang memiliki keyakinan dan perbuatan kufur. [16]
Wallahu a’lam

Beberapa Ayat Alquran tentang Thalak:
QS.65. Ath Thalaaq:

يٰأيُّهَا ٱلنَّبِىُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ ٱلنِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُواْ ٱلْعِدَّةَ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ رَبَّكُمْ لاَ تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ إِلاَّ أَن يَأْتِينَ بِفَـٰحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لاَ تَدْرِى لَعَلَّ ٱللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَٰلِكَ أَمْراً

1. Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)[isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu suci sebelum dicampuri] dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang[mengerjakan perbuatan-perbuatan pidana, berkelakuan tidak sopan terhadap mertua, ipar, besan dan sebagainya]. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru[keinginan dari suami untuk rujuk kembali apabila talaqnya baru dijatuhkan sekali atau dua kali]. 


QS.2. Al Baqarah

وَٱلْمُطَلَّقَـٰتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَـٰثَةَ قُرُوۤءٍ وَلاَ يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ ٱللَّهُ فِىۤ أَرْحَامِهِنَّ إِن كُنَّ يُؤْمِنَّ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلأَْخِرِ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوۤاْ إِصْلَـٰحاً وَلَهُنَّ مِثْلُ ٱلَّذِى عَلَيْهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ وَٱللَّهُ عَزِيزٌ حَكُيمٌ

228. Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'[diartikan suci atau haidh]. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya[Hal ini disebabkan karena suami bertanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan rumah tangga]. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. 


QS.2. Al Baqarah

وَٱلَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَٰجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا فَعَلْنَ فِىۤ أَنفُسِهِنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

234. Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah habis 'iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka[Berhias, atau bepergian, atau menerima pinangan] menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. 


QS.65. Ath Thalaaq:

فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُواْ ذَوَى عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُواْ ٱلشَّهَـٰدَةَ لِلَّهِ ذَلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلأَْخِرِ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجاً

2. Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. 


QS.65. Ath Thalaaq:

وَٱلٰئِى يَئِسْنَ مِنَ ٱلْمَحِيضِ مِن نِّسَآئِكُمْ إِنِ ٱرْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلَـٰثَةُ أَشْهُرٍ وَٱللَّـٰتِي لَمْ يَحِضْنَ وَأُوْلَـٰتُ ٱلأَْحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَن يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَن يَتَّقِ ٱللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْراً

4. Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang -siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya. 


QS.65. Ath Thalaaq:

أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنتُم مِّن وُجْدِكُمْ وَلاَ تُضَآرُّوهُنَّ لِتُضَيِّقُواْ عَلَيْهِنَّ وَإِن كُنَّ أُوْلَـٰتِ حَمْلٍ فَأَنفِقُواْ عَلَيْهِنَّ حَتَّىٰ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَـَاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَأْتَمِرُواْ بَيْنَكُمْ بِمَعْرُوفٍ وَإِن تَعَاسَرْتُمْ فَسَتُرْضِعُ لَهُ أُخْرَىٰ

6. Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan maka perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya. 

(Diolah dari berbagai sumber)
Maraji’:
1. Fathul Bari
2. Jami Ahkamun Nisa, Musthafa Al-Adawi, Dar Ibnu Affan, Kairo, Cetakan Pertama, Tahun 1419H.
3. Majmu Fatawa
4. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Tahqiq Muhammad Salim Hasyim. Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, Beirut, Cetakan Pertama, Tahun 1415H
5. Shahih Fiqhis Sunnah
6 Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Basam, Maktabah Al-Asadi, Makkah, Cetakan Kelima, Tahun 1423H
_______
Footnote
[1]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/340
[2]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[3]. Al-Mughni, 7/51
[4]. Majmu Al-Fatawa, 32/282
[5]. Fathul Bari, 9/315
[6]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[7]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/468
[8]. Nailul Authar Min Ahadits Sayyid Al-Akhyar Syarh Muntaqa Al-Akhbar, 6/260
[9]. Dinukil dari Taudhihul Ahkam, 5/469. Shahih fiqhis Sunnah, 3/341-343, dan Jami Ahkamun Nisa, 4/153-154 dengan beberapa tambahan.
[10]. Fathul Bari, 9/318
[11]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[12]. Taudhihul Ahkam Min Bulughul Maram, 5/469
[13]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343
[14]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[15]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/342
[16]. Shahih Fiqhis Sunnah, 3/343


Bab: Bagaimana dengan Menuduh Orang Berzina Tanpa Saksi?

 

(Oleh: Ahmad Sarwat, Lc., MA)

A. Hukum Menuduh Orang Berzina Tanpa Saksi

Pada dasarnya menuduh orang berbuat zina itu hukumnya haram, tetapi dalam kasus tertentu bisa juga menjadi halal, atau malah jadi wajib.

1. Haram

Menuduh orang lain berzina hukumnya haram, bila memang tanpa bukti atau tanpa mendatangkan 4 orang saksi. Pelakunya berdosa besar, mendapat laknat dari Allah dan ada hukum hudud yang telah diancamkan Allah SWT atasnya, yaitu dicambuk sebanyak 80 kali.

Dasar keharamannya adalah firman Allah SWT :

وَالَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلاَ تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. An-Nur : 4)

إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآْخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman , mereka kena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar (QS. An-Nur : 23)

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ قَالُوا : يَا رَسُول اللَّهِ وَمَا هُنَّ ؟ قَال : الشِّرْكُ بِاللَّهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْل النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَّ بِالْحَقِّ وَأَكْل الرِّبَا وَأَكْل مَال الْيَتِيمِ وَالتَّوَلِّي يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ الْغَافِلاَتِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Jauhi olehmu tujuh perbuatan yang mencelakakan (dosa besar)”. Para shahabat bertanya,”Perbuatan apa sajakah itu ya Rasulullah?”. Beliau menjawab, ”Menyekutukan Allah, sihir, membunuh nyawa yang telah Allah haramkan kecuali dengan hak, memakan riba, makan harta anak yatim, lari dari peperangan dan menunduh wanita mukminah yang baik. (HR. Bukhari Muslim)

2. Terkadang Bisa Menjadi Wajib

Namun adakalanya melakukan qadzf menjadi wajib hukumnya, meskipun hukum asalnya haram. Wajibnya hanya dalam keadaan dimana seorang suami mendapati istrinya sedang melakukan zina saat sedang suci dari haidh dan belum sempat disetubuhinya.

Dalam hal ini kasusnya bila istrinya itu sampai hamil dan mengandung bayi dari laki-laki lain yang menzinainya, padahal selama enam bulan tidak dikumpulinya. Pada saat itu seorang suami wajib menafikan anak itu sebagai anaknya dan wajib menjatuhkan tuduhan zina atas istrinya.

3. Antara Wajib dan Tidak Wajib

Sedangkan qadzf yang hukumnya mubah, dalam arti tidak haram dan juga tidak wajib, adalah ketika seorang suami mendapati istrinya berzina, atau dia meyakini dari sumber yang terpercaya bahwa istrinya berzina, namun tidak sampai ada bukti kehamilan.


B. Kriteria Tuduhan

Para ulama mengatakan bahwa dalam melempar tuduhan orang lain berzina, ada beberapa cara yang berbeda dalam lafadznya.

1. Sharih

Lafadz sharih adalah lafadz qadzf yang tegas dan tidak bisa ditafsirkan dengan makna-makna yang selain dari tuduhan zina. Misalnya seseorang berkata :

"Demi Allah, aku melihat fulan telah melakukan zina dengan cara melakukan hubungan badan (jima') dengan si fulanah".

Dan lafadz qadzf yang sharih inilah yang mewajibkan hudud, atau hukuman, berupa cambuk sebanyak 80 kali. Tentunya bila orang yang melemparkan tuduhan itu tidak mampu mendatangkan hal-hal yang menggugurkan hukuman tersebut.

2. Kinayah

Lafadz kinayah adalah lafadz qadzf yang tidak tegas dan bisa ditafsirkan dengan makna-makna yang selain dari tuduhan zina.

Dalam hal ini, mazhab Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah mengatakan bahwa orang yang melemparkan tuduhan qadzf dengan lafadz yang kina’i, harus bersumpah bahwa dia tidak berniat melakukan tuduhan zina, agar terbebas dari hudud cambuk 80 kali, sehingga hukumannya cukup dengan ta’zir.


C. Syarat Penuduh dan Yang Dituduh

Agar hukuman buat penuduh bisa dijalankan, maka harus terpenuhi syarat-syarat, baik syarat pada pihak penuduh atau pun syarat pada pihak yang dituduh.

1. Syarat Penuduh

Para ulama telah sepakat bahwa orang yang menuduh zina tidak bisa dijatuhi hukuman, kecuali bila pada dirinya terpenuhi beberapa syarat berikut ini :

a. Sudah Baligh

Berarti bila yang menuduh cuma anak kecil yang belum baligh, tidak bisa anak kecil itu dijatuhi hukuman.

b. Berakal

Bila yang menuduh zina itu orang gila yang tidak waras, atau istilahnya ghairu 'aqil, maka hukuman pun tidak bisa dijatuhkan keapdanya

c. Ikhtiyar

Makna ikhtiyar adalah punya pilihan atau bebas memilih, tidak terpaksa, dipaksa atau di bawah ancaman pihak-pihak tertentu.

Sedangkan jenis kelamin, status budak, atau status keislaman tidak menjadi syarat dalam hal ini. Jadi pihak penuduh bisa saja seorang wanita, budak atau bahkan orang kafir sekalipun.

2. Syarat Orang Yang Dituduh Berbuat Zina

Agar pihak penuduh bisa dijatuhi hukuman, maka pihak yang dituduh harus berstatus muhshan. Apa maksudnya? Orang yang muhshan itu adalah orang yang memenuhi kriteria ihshan, antara lain :

a. Beragama Islam

Maka kalau yang dituduh berzina bukan orang Islam, penuduhnya tidak perlu dijatuhi hukuman. Dalam hal ini ada dalil dari hadits Nabi SAW bahwa orang kafir bukan termasuk orang muhshan :

مَنْ أَشْرَكَ بِاللَّهِ فَلَيْسَ بِمُحْصَنٍ

Siapa yang musyrik (memeluk agama syirik) dia bukan orang muhshan (HR. Ad-Daruquthuny)

b. Baligh

Kalau yang dituduh berzina cuma anak kecil yang belum baligh, maka penuduhnya tidak perlu dijatuhi hukuman.

c. Berakal

Kalau yang dituduh berzina hanya orang gila yang pikirannya cuma sebelah, alias akalnya tidak waras, maka penuduhnya tidak perlu dijatuhi hukuman.

d. Merdeka

Demikian juga bila orang yang dituduh bersatatus budak, maka penuduhnya tidak perlu dijatuhi hukuman.

e. Iffah dari Zina

Lawan dari istilah iffah ini adalah perbuatan zina itu sendiri. Maka orang yang tidak iffah adalah orang yang pernah atau malah suka berzina, serta tidak menjaga diri dari hal-hal yang mendekati zina itu sendiri.

Sehingga yang dimaksud dengan iffah dari zina adalah status seseorang yang terhormat dan suci atau menjauhi diri dari perbuatan zina. Dia selalu berada dalam keadaan menjaga diri dan kehormatannya dari perbuatan terlarang itu serta menghindari dari mendekat-dekat kepada zina. Mungkin terjemahan mudah dari iffah ini adalah : orang baik-baik.

Demikianlah Syarat2 Orang yang dituduh telah berbuat Zina. Jika yang dituduh tidak demikian bagaimana? (berarti orang itu tidak muhshan). Silahkan membaca keterangan dibawah ini.


D. Bagaimana Agar Penuduh Terbebas Dari Cambuk 80 Kali?

Tuduhan kepada orang lain melakukan zina bisa benar dan bisa tidak benar. Prinsipnya bila tuduhan itu benar, tentu saja penuduh tidak perlu dijatuhi hukuman. Sebaliknya, bila tuduhan itu tidak benar, maka penuduhnya bisa dijatuhi hukuman.

Secara lebih rinci, ada beberapa hal lain yang membuat orang yang menuduh zina tidak perlu dijatuhi hukuman cambuk 80 kali, antara lain adalah :

1. Pemaafan Dari Yang Dituduh

Seandainya orang yang dituduh berzina memberi maaf, maka hukuman cambuk 80 kali buat penuduh bisa dibatalkan. Ini adalah pendapat yang paling banyak dipegang, khususnya dalam mazhab As-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah. Landasannya dalam pandangan mereka, bahwa urusan tuduhan zina merupakan pelanggaran hak adami dan bukan hak Allah.

Jadi mirip seperti masalah muamalah atau hutang piutang, dimana bila orang yang memberi hutang memaafkan, selesai sudah kewajiban penghutang.

Memang ada juga pendapat yang mengatakan bahwa tuduhan zina merupakan pelanggaran atas hak Allah, seperti kasus zina itu sendiri. Sehingga meski pun yang dituduh sudah memaafkan, namun permaafan itu tidak secara otomatis membebaskan penuduh dari hukuman. Pendapat ini merupakan pendapat mazhab Al-Hanafiyah.

2. Li’an

Li'an adalah kasus dimana suami mendapati istrinya telah berzina, namun suami tidak bisa mendatangkan empat orang saksi sebagai syarat diterima tuduhan. Maka dalam hukum syariah dikenal istilah li'an.

Dalam hal ini seorang suami yang meli'an istrinya sendiri tidak perlu dijatuhi hukuman qadzaf berupa cambuk 80 kali.

3. Pembuktian

Yang dimaksud dengan pembuktian disini ada beberapa macam, yaitu kehamilan karena perzinahan, didatangkannya 4 orang saksi yang memenuhi syarat, atau adanya pengakuan dari pelaku zina atas zina yang dilakukannya.

Kalau kehamilan, kesaksian atau pengakuan itu ada, maka penuduh zina tidak perlu dijatuhi hukuman cambuk 80 kali, karena tuduhannya terbukti secara syar'i telah benar.

4. Yang Dituduh Bukan Muhshan

Syarat jatuhnya tuduhan adalah bahwa orang yang dituduh berzina itu orang yang muhshan. Orang yang dikatakan muhshan itu adalah orang yang beragama Islam, aqil, baligh, merdeka, dan suci dari perzinaan.

Bila orang yang dituduh zina tidak memenuhi salah satu dari kriteria muhshan, maka gugurlah hukuman buat penuduh. Misalnya orang yang dituduh itu bukan muslim, atau anak kecil yang belum baligh, atau orang gila yang tidak berakal, atau budak hamba sahaya, atau orang yang memang berstatus pezina, mana saja dari salah satu kriteria muhshan itu, maka terbebaslah penuduhnya dari hukuman.

Umpamanya ada seorang muhshan dituduh berzina, tetapi tidak lama kemudian orang ini malah mengerjakan perbuatan zina itu betulan, maka terbebaslah penuduhnya dari hukuman meski zina itu dilakukan setelah adanya tuduhan.

5. Dicabutnya Persaksian

Tindakan zina yang dilakukan oleh seseorang baru bisa dijatuhi hukuman manakala ada empat orang saksi di pengadilan dengan segala persyaratannya. Kalau eksekusi belum dijalankan, lalu tiba-tiba ada saksi yang mencabut kesaksiannya, maka saksi itu tidak bisa dianggap sebagai penuduh zina yang wajib dihukum.

Jadi maksud poin ini adalah saksi yang mencabut kesaksiannya akan terlepas dari hukuman sebagai penuduh.


>> Bagaimana jika Laki2 yang dituduh berzina dengan perempuan tersebut tidak normal?

Orang yang dituduh tersebut harus memiliki gairah seks yang normal, yakni terbukti secara medis tidak impoten. Sehingga, jika ia terbukti (oleh ahlinya) impoten atau bahkan tidak punya alat kelamin, maka secara otomatis tuduhan kalau ia telah berzina dengan perempuan tidak bisa dijatuhkan.

(Di edit dan ditambah materinya oleh admin blog)


Zina dan Sekitarnya (Tambahan dari Ahmad Abdullah)

QS.24. An Nuur:

ٱلزَّانِيَةُ وَٱلزَّانِى فَٱجْلِدُواْ كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِاْئَةَ جَلْدَةٍ وَلاَ تَأْخُذْكُمْ بِهِمَا رَأْفَةٌ فِى دِينِ ٱللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلأَْخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَآئِفَةٌ مِّنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ

2. Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.

Ayat diatas menimbulkan beberapa pertanyaan, misalnya:
Apakah sama hukuman bagi para pelaku zina? Bagaimana kalau yang berzina adalah para jomblo/bujangan? dan bagaimana kalau mereka yg sudah punya istri/suami (telah menikah)?

Jawaban:
Ternyata yang dimaksud dari ayat diatas adalah hukuman bagi para pelaku zina yang masih belum menikah atau masih bujangan, berdasarkan hadits:

Telah menceritakan kepada kami Malik bin Isma'il telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz telah mengabarkan kepada kami Ibnu Syihab dari 'Ubaidullah bin "Abdillah bin 'Utbah dari Zaid bin Khalid Al Juhani mengatakan; 'Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh menghukum orang yang berzina dan dia belum menikah dengan dera seratus kali dan diasingkan selama setahun.' Kata Ibnu Syihab, dan telah mengabarkan kepadaku ' 'Urwah bin Zubair bahwa Umar bin Khattab pernah mengasingkan (pelaku zina), dan yang demikian menjadi sunnah. (No. Hadist: 6329 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Bagaimana Kalau yang Berzina sudah punya istri/suami (telah menikah)?
Telah menceritakan kepada kami Sa'id bin 'Ufair mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al Laits telah menceritakan kepadaku Abdurrahman bin Khalid dari Ibnu Syihab dari Ibnu Al Musayyab dan Abi Salamah, bahwasanya Abu Hurairah mengatakan, Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam didatangi oleh seseorang yang ketika itu beliau tengah berada di masjid. Orang itu memanggil-manggil; 'Ya Rasulullah, aku telah berzina' -maksudnya dirinya sendiri--. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memalingkan mukanya, namun orang itu mendatangi dari arah mukanya yang lain dan berujar; 'Ya Rasulullah, aku telah berzina! ' Nabi tetap berpaling, namun orang itu datang lagi dari sebelah muka beliau yang sebelumnya dipalingkan. Dikala ia sudah bersaksi empat kali, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam memanggilnya dan bertanya; "Mungkin kau terkena penyakit gila?" 'Tidak, ya Rasulullah' Jawabnya. Nabi bertanya: "Kamu sudah menikah?" 'Iya, ya Rasulullah' Jawabnya. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "bawalah orang ini dan rajamilah!" Ibnu Syihab mengatakan; Telah mengabarkan kepadaku orang yang mendengar Jabir, ia mengatakan; 'Aku diantara orang-orang yang merajamnya, dan kami merajamnya di tanah lapang. Dikala ia merasa kesakitan karena lemparan batu, ia kabur hingga kami menangkapnya di Harrah, dan kami meneruskan merajamnya.' (No. Hadist: 6325 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Hendaknya Berbaik Sangka Terlebih Dahulu, Yakni Beranggapan: Mungkin hanya memegang atau mungkin hanya mencium, dan bukan Bersetubuh
--> Harapannya Tidak Salah dalam Menjatuhkan Hukuman dengan Hukuman yang Lebih Berat

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Muhammad Al Ju'fi Telah menceritakan kepada kami Wahb bin Jarir telah menceritakan kepada kami Ayahku ia mengatakan; aku mendengar Ya'la bin Hakim dari 'Ikrimah dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma mengatakan; 'Ketika Ma'iz bin Malik menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, Nabi bertanya: "bisa jadi kamu hanya sekedar mencium, meremas, atau memandang!" Ma'iz menjawab; 'Tidak wahai Rasulullah! ' -beliau bertanya lagi; "apakah kamu benar-benar menyetubuhinya?" -beliau tidak menggunakan bahasa kiasan.- maka pada saat itu dia pun dirajam. (No. Hadist: 6324 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Bab: Bagaimana dengan Hukum Li'an (menuduh isterinya berzina, tanpa ada saksi-saksi)?
Yakni orang yang menuduh istrinya berbuat zina dengan tidak mengajukan empat orang saksi, haruslah bersumpah dengan nama Allah empat kali, bahwa dia adalah benar dalam tuduhannya itu. Kemudian dia bersumpah sekali lagi bahwa dia akan kena laknat Allah jika dia berdusta. Masalah ini dalam fiqih dikenal dengan Li'an

QS.24. An Nuur:

وَٱلَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَٰجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَّهُمْ شُهَدَآءُ إِلاَّ أَنفُسُهُمْ فَشَهَـٰدَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَـٰدَاتٍ بِٱللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ ٱلصَّـٰدِقِينَ

6. Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.

وَٱلْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَت ٱللَّهِ عَلَيْهِ إِن كَانَ مِنَ ٱلْكَـٰذِبِينَ

7. Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta.

وَيَدْرَؤُاْ عَنْهَا ٱلْعَذَابَ أَن تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِٱللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ ٱلْكَـٰذِبِينَ

8. Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.

وَٱلْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ ٱللَّهِ عَلَيْهَآ إِن كَانَ مِنَ ٱلصَّـٰدِقِينَ

9. dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.

Telah menceritakan kepadaku Muhammad bin Basysyar Telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu 'Adi dari Hisyam bin Hassan Telah menceritakan kepada kami 'Ikrimah dia berkata; bahwa Hilal bin Umayyah menuduh istrinya melakukan zina dengan Syarik bin Samha dan membawa persoalan tersebut kehadapan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: 'Bawalah bukti yang menguatkan (empat orang saksi) atau kamu akan dihukum cambuk dipunggungmu. Hilal berkata; Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kita melihat seorang laki-laki lain bersama istrinya, haruskah ia mencari saksi? Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: Bawalah bukti yang menguatkan (empat orang saksi) atau kamu yang akan dihukum cambuk dipunggungmu. Hilal kemudian berkata; Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, aku berkata benar dan Allah akan mewahyukan kepadamu yang menyelamatkan punggungku dari hukuman cambuk. Maka Jibril turun menyampaikan wahyu Allah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Dan merekalah yang menuduh para istrinya…. (An Nuur; 6-9). Nabi shallallahu 'alaihi wasallam membacanya hingga sampai bagian Jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar. Kemudian Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ia pergi menjemput istrinya. Hilal pulang dan kembali dengan membawa istrinya. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah tahu bahwa salah seorang dari kalian berdusta, jadi siapa diantara kalian yang akan bertaubat? Kemudian istri Hilal bangun dan bersumpah dan ketika ia akan mengucapkan sumpah yang kelima, mereka menghentikannya dan berkata; Sumpah kelima itu akan membawa laknat kepadamu (jika kamu bersalah). Ia pun tampak ragu melakukannya sehingga kami berfikir bahwa ia akan menyerah. Namun kemudian istri Hilal berkata; Aku tidak akan menjatuhkan kehormatan keluargaku, dan melanjutkan mengambil sumpah. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian berkata; Perhatikan ia. Jika ia melahirkan seorang bayi dengan mata hitam, berpantat besar, dan kaki yang gemuk, maka bayi itu adalah anak Syarik bin Samha. Di kemudian hari ia melahirkan bayi yang ciri-cirinya seperti yang digambarkan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Jika persoalan ini tidak diputuskan Allah terlebih dahulu, maka tentu aku akan menjatuhkan hukuman yang berat terhadapnya." (No. Hadist: 4378 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami Al Laits telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa'id dari Abdurrahman bin Al Qasim dari Al Qasim bin Muhammad dari Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma, Di majlis Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dibicarakan masalah li'an. Lantas 'Ashim bin 'Adi mengucapkan satu perkataan kemudian pulang. selanjutnya dia didatangi sereorang dari kaumnya yang mengadukan keluh kesahnya bahwa dirinya menemukan isterinya sedang bersama laki-laki lain yang bukan suaminya. Maka 'Ashim bin Adi berujar; 'aku tidak diuji dengan kasus ini selain karena ucapanku sendiri! ' Lalu ia bawa orang tadi menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan memberitahukan kepada beliau tentang kejadian bahwa dia menemukan isterinya bersama laki-laki lain yang ciri-cirinya berkulit kuning, dagingnya sedikit, rambutnya lurus, sedang laki-laki yang mengaku bahwa dia menemukan isterinya bersama orang lain berwarna coklat, gemuk, dan berbadan gempal berisi. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kemudian berdoa; "Ya Allah, berilah kejelasan masalah ini." kemudian si wanita melahirkan bayi yang mirip dengan laki-laki yang dituduhkan suaminya bersama isterinya. Lantas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam meli'an keduanya. Ada seseorang bertanya kepada Ibn 'Abbas; 'Wanita itukah yang dimaksud oleh ucapan Nabi: "Sekiranya aku merajam wanita dengan tanpa bukti, niscaya kurajam wanita ini!"? ' Ibn Abbas menjawab; ' bukan! Itu adalah wanita yang menampakkan keburukan (zina) di dalam Islam." (No. Hadist: 6350 dari KITAB SHAHIH BUKHARI)

Wallahu a'lam bishshawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar